Selasa, 23 Oktober 2012

Keutamaan Puasa Arafah

Puasa Arafah adalah puasa yang jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah. Puasa Arafah dinamakan demikian karena saat itu jamaah haji sedang wukuf di terik matahari di padang Arafah. Puasa Arafah ini dianjurkan bagi mereka yang tidak berhaji. Sedangkan yang berhaji tidak disyariatkan puasa ini.

Mengenai hari Arofah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ  الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ


“Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah hari Arofah. Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?” (HR. Muslim)

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hari Arofah adalah hari pembebasan dari api neraka. Pada hari itu, Allah akan membebaskan siapa saja yang sedang wukuf di Arofah dan penduduk negeri kaum muslimin yang tidak melaksanakan wukuf. Oleh karena itu, hari setelah hari Arofah –yaitu hari Idul Adha- adalah hari ‘ied bagi kaum muslimin di seluruh dunia. Baik yang melaksanakan haji dan yang tidak melaksanakannya sama-sama akan mendapatkan pembebasan dari api neraka dan ampunan pada hari Arofah.” (Lathoif Al Ma’arif, 482)
Mengenai keutamaan puasa Arafah disebutkan dalam hadits Abu Qotadah, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,


صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ  الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
“Puasa Arofah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim).
Ini menunjukkan bahwa puasa Arafah adalah di antara jalan untuk mendapatkan pengampunan di hari Arafah. Hanya sehari puasa, bisa mendapatkan pengampunan dosa untuk dua tahun. Luar biasa fadhilahnya …
Hari Arafah pun merupakan waktu mustajabnya do’a sebagaimana disebutkan dalam hadits,

خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا  وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ 
شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
“Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arofah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan “Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli sya-in qodiir (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Miliki-Nya segala kerajaan, segala pujian dan Allah yang menguasai segala sesuatu)”.” (HR. Tirmidzi, hasan)
Untuk tahun ini hari arafah InsyaAllah jatuh pada hari Kamis, 25 Oktober 2012 Semoga kita termasuk orang yang dimudahkan oleh Allah untuk melakukan puasa tersebut dan meraih keutamaan di dalamnya.
Wallahua'lam

Senin, 22 Oktober 2012

Qurban (6) Pemanfaatan Hewan Qurban

Sesudah hewan disembelih, sebaiknya penanganan hewan qurban (pengulitan dan
pemotongan) baru dilakukan setelah hewan diyakini telah mati. Hukumnya
makruh menguliti hewan sebelum nafasnya habis dan aliran darahnya berhenti
(Al Jabari, 1994). Dari segi fakta, hewan yang sudah disembelih tapi belum
mati, otot-ototnya sedang berkontraksi karena stress. Jika dalam kondisi
demikian dilakukan pengulitan dan pemotongan, dagingnya akan alot alias
tidak empuk. Sedang hewan yang sudah mati otot-ototnya akan mengalami
relaksasi sehingga dagingnya akan empuk.
Setelah penanganan hewan qurban selesai, bagaimana pemanfaatan daging hewan
qurban tersebut ? Ketentuannya, disunnahkan bagi orang yang berqurban, untuk
memakan daging qurban, dan menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, dan
menghadiahkan kepada karib kerabat. Nabi SAW bersabda :
فَكُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُو
“Makanlah daging qurban itu, dan berikanlah kepada fakir-miskin, dan
simpanlah.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi, hadits shahih)
Berdasarkan hadits itu, pemanfaatan daging qurban dilakukan menjadi tiga
bagian/cara, yaitu : makanlah, berikanlah kepada fakir miskin, dan
simpanlah. Namun pembagian ini sifatnya tidak wajib, tapi mubah (lihat Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid I/352; Al Jabari, 1994; Sayyid Sabiq, 1987).
Orang yang berqurban, disunnahkan turut memakan daging qurbannya sesuai
hadits di atas. Boleh pula mengambil seluruhnya untuk dirinya sendiri. Jika
diberikan semua kepada fakir-miskin, menurut Imam Al Ghazali, lebih baik.
Dianjurkan pula untuk menyimpan untuk diri sendiri, atau untuk keluarga,
tetangga, dan teman karib (Al Jabari, 1994; Rifa’i et.al, 1978).
Akan tetapi jika daging qurban sebagai nadzar, maka wajib diberikan semua
kepada fakir-miskin dan yang berqurban diharamkan memakannya, atau
menjualnya (Ad Dimasyqi, 1993; Matdawam, 1984)
Pembagian daging qurban kepada fakir dan miskin, boleh dilakukan hingga di
luar desa/ tempat dari tempat penyembelihan (Al Jabari, 1994).
Bolehkah memberikan daging qurban kepada non-muslim ? Ibnu Qudamah (mazhab
Hambali) dan yang lainnya (Al Hasan dan Abu Tsaur, dan segolongan ulama
Hanafiyah) mengatakan boleh. Namun menurut Imam Malik dan Al Laits, lebih
utama diberikan kepada muslim (Al Jabari, 1994).
Penyembelih (jagal), tidak boleh diberi upah dari qurban. Kalau mau memberi
upah, hendaklah berasal dari orang yang berqurban dan bukan dari qurban
(Abdurrahman, 1990). Hal itu sesuai hadits Nabi SAW dari sahabat Ali bin Abi
Thalib RA :
وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَازِرَ مِنْهَا شَيْئًا
“…(Rasulullah memerintahkan kepadaku) untuk tidak memberikan kepada
penyembelih sesuatu daripadanya (hewan qurban).” (HR. Bukhari dan Muslim)
(Al Jabari, 1994)
Tapi jika jagal termasuk orang fakir atau miskin, dia berhak diberi daging
qurban. Namun pemberian ini bukan upah karena dia jagal, melainkan sedekah
karena dia miskin atau fakir (Al Jabari, 19984).
Menjual kulit hewan adalah haram, demikianlah pendapat jumhur ulama (Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid I/352). Dalilnya sabda Nabi SAW:
وَلَا تَبِيعُوا لُحُومَ الْهَدْيِ وَالْأَضَاحِيِّ فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا
وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُودِهَا وَلَا تَبِيعُوهَا
“Dan janganlah kalian menjual daging hadyu (qurban orang haji) dan daging
qurban. Makanlah dan sedekahkanlah dagingnya itu, ambillah manfaat kulitnya,
dan jangan kamu menjualnya…” HR. Ahmad) (Matdawam, 1984).
Sebagian ulama seperti segolongan penganut mazhab Hanafi, Al Hasan, dan Al
Auza’i membolehkannya. Tapi pendapat yang lebih kuat, dan berhati-hati
(ihtiyath), adalah janganlah orang yang berqurban menjual kulit hewan
qurban. Imam Ahmad bin Hambal sampai berkata,”Subhanallah ! Bagaimana harus
menjual kulit hewan qurban, padahal ia telah dijadikan sebagai milik Allah
?” (Al Jabari, 1994).
Kulit hewan dapat dihibahkan atau disedekahkan kepada orang fakir dan
miskin. Jika kemudian orang fakir dan miskin itu menjualnya, hukumnya boleh.
Sebab -menurut pemahaman kami– larangan menjual kulit hewan qurban tertuju
kepada orang yang berqurban saja, tidak mencakup orang fakir atau miskin
yang diberi sedekah kulit hewan oleh orang yang berqurban. Dapat juga kulit
hewan itu dimanfaatkan untuk kemaslahatan bersama, misalnya dibuat alas
duduk dan sajadah di masjid, kaligrafi Islami, dan sebagainya

Qurban (5) Teknis Penyembelihan

Teknis penyembelihan adalah sebagai berikut :
Hewan yang akan dikurbankan dibaringkan ke sebelah rusuknya yang kiri dengan
posisi mukanya menghadap ke arah kiblat, diiringi dengan membaca doa
"Robbanaa taqabbal minnaa innaka antas samii'ul 'aliim." (Artinya : Ya Tuhan
kami, terimalah kiranya qurban kami ini, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.)
Penyembelih meletakkan kakinya yang sebelah di atas leher hewan, agar hewan
itu tidak menggerak-gerakkan kepalanya atau meronta.
Penyembelih melakukan penyembelihan, sambil membaca : "Bismillaahi Allaahu
akbar." (Artinya : Dengan nama Allah, Allah Maha Besar). (Dapat pula
ditambah bacaan shalawat atas Nabi SAW. Para penonton pun dapat turut
memeriahkan dengan gema takbir "Allahu akbar!")
Kemudian penyembelih membaca doa kabul (doa supaya qurban diterima Allah)
yaitu : "Allahumma minka wa ilayka. Allahumma taqabbal min ..." (sebut nama
orang yang berkurban). (Artinya : Ya Allah, ini adalah dari-Mu dan akan
kembali kepada-Mu. Ya Allah, terimalah dari.... ) (Ad Dimasyqi, 1993;
Matdawam, 1984; Rifa'i et.al., 1978; Rasjid, 1990)
Penyembelihan, yang afdhol dilakukan oleh yang berqurban itu sendiri, sekali
pun dia seorang perempuan. Namun boleh diwakilkan kepada orang lain, dan
sunnah yang berqurban menyaksikan penyembelihan itu (Matdawam, 1984; Al
Jabari, 1994).

Dalam penyembelihan, wajib terdapat 4 (empat) rukun penyembelihan, yaitu :

Adz Dzaabih (penyembelih), yaitu setiap muslim, meskipun anak-anak, tapi
harus yang mumayyiz (sekitar 7 tahun). Boleh memakan sembelihan Ahli Kitab
(Yahudi dan Nashrani), menurut mazhab Syafi'i. Menurut mazhab Hanafi,
makruh, dan menurut mazhab Maliki, tidak sempurna, tapi dagingnya halal.
Jadi, sebaiknya penyembelihnya muslim. (Al Jabari, 1994).
Adz Dzabiih, yaitu hewan yang disembelih.Telah diterangkan sebelumnya.
Al Aalah, yaitu setiap alat yang dengan ketajamannya dapat digunakan
menyembelih hewan, seperti pisau besi, tembaga, dan lainnya. Tidak boleh
menyembelih dengan gigi, kuku, dan tulang hewan (HR. Bukhari dan Muslim).
Adz Dzabh, yaitu penyembelihannya itu sendiri. Penyembelihan wajib
memutuskan hulqum (saluran nafas) dan mari` (saluran makanan). (Mahmud
Yunus, 1936)

Qurban (4) Qurban Sendiri atau Patungan

Seekor kambing berlaku untuk satu orang. Tak ada qurban patungan
(berserikat) untuk satu ekor kambing. Sedangkan seekor unta atau sapi, boleh
patungan untuk tujuh orang (HR. Muslim). Lebih utama, satu orang berqurban
satu ekor unta atau sapi.
Jika murid-murid sebuah sekolah, atau para anggota sebuah jamaah pengajian
iuran uang lalu dibelikan kambing, dapatkah dianggap telah berqurban ?
Menurut pemahaman kami, belum dapat dikategorikan qurban, tapi hanya latihan
qurban. Sembelihannya sah, jika memenuhi syarat-syarat penyembelihan, namun
tidak mendapat pahala qurban. Wallahu a’lam. Lebih baik, pihak sekolah atau
pimpinan pengajian mencari siapa yang kaya dan mampu berqurban, lalu dari
merekalah hewan qurban berasal, bukan berasal dari iuran semua murid tanpa
memandang kaya dan miskin. Islam sangat adil, sebab orang yang tidak mampu
memang tidak dipaksa untuk berqurban.
Perlu ditambahkan, bahwa dalam satu keluarga (rumah), bagaimana pun besarnya
keluarga itu, dianjurkan ada seorang yang berkurban dengan seekor kambing.
Itu sudah memadai dan syiar Islam telah ditegakkan, meskipun yang mendapat
pahala hanya satu orang, yaitu yang berkurban itu sendiri. Hadits Nabi SAW:
إِنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةً
“Dianjurkan bagi setiap keluarga dalam setiap tahun menyembelih qurban.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, An Nasa`i, dan Ibnu Majah)

Qurban (3) Hewan Qurban


A. Jenis Hewan


Hewan yang boleh dijadikan qurban adalah : unta, sapi, dan kambing (atau
domba). Selain tiga hewan tersebut, misalnya ayam, itik, dan ikan, tidak
boleh dijadikan qurban (Sayyid Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994). Allah SWT
berfirman:
لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ
“…supaya mereka menyebut nama Allah terhadap hewan ternak (bahimatul an’am)
yang telah direzekikan Allah kepada mereka.” (TQS Al Hajj : 34)
Dalam bahasa Arab, kata bahimatul an’aam (binatang ternak) hanya mencakup
unta, sapi, dan kambing, bukan yang lain (Al Jabari, 1994).
Prof. Mahmud Yunus dalam kitabnya Al Fiqh Al Wadhih III/3 membolehkan
berkurban dengan kerbau (jamus), sebab disamakan dengan sapi.

B. Jenis Kelamin


Dalam berqurban boleh menyembelih hewan jantan atau betina, tidak ada
perbedaan, sesuai hadits-hadits Nabi SAW yang bersifat umum mencakup
kebolehan berqurban dengan jenis jantan dan betina, dan tidak melarang salah
satu jenis kelamin (Sayyid Sabiq, 1987; Abdurrahman, 1990)

C. Umur


Sesuai hadits-hadits Nabi SAW, dianggap mencukupi, berqurban dengan
kambing/domba berumur satu tahun masuk tahun kedua, sapi (atau kerbau)
berumur dua tahun masuk tahun ketiga, dan unta berumur lima tahun (Sayyid
Sabiq, 1987; Mahmud Yunus, 1936).

D. Kondisi


Hewan yang dikurbankan haruslah mulus, sehat, dan bagus. Tidak boleh ada
cacat atau cedera pada tubuhnya. Sudah dimaklumi, qurban adalah taqarrub
kepada Allah. Maka usahakan hewannya berkualitas prima dan top, bukan
kualitas sembarangan (Rifa’i et.al, 1978)
Berdasarkan hadits-hadits Nabi SAW, tidak dibenarkan berkurban dengan hewan
:
1. yang nyata-nyata buta sebelah,
2. yang nyata-nyata menderita penyakit (dalam keadaan sakit),
3. yang nyata-nyata pincang jalannya,
4. yang nyata-nyata lemah kakinya serta kurus,
5. yang tidak ada sebagian tanduknya,
6. yang tidak ada sebagian kupingnya,
7. yang terpotong hidungnya,
8. yang pendek ekornya (karena terpotong/putus),
9. yang rabun matanya. (Abdurrahman, 1990; Al Jabari, 1994;
Sayyid Sabiq. 1987).
Hewan yang dikebiri boleh dijadikan qurban. Sebab Rasulullah pernah
berkurban dengan dua ekor kibasy yang gemuk, bertanduk, dan telah dikebiri
(al maujuu’ain) (HR. Ahmad dan Tirmidzi) (Abdurrahman, 1990)

Qurban (2) Waktu dan Tempat Qurban


A.Waktu


Qurban dilaksanakan setelah sholat Idul Adh-ha tanggal 10 Zulhijjah, hingga
akhir hari Tasyriq (sebelum maghrib), yaitu tanggal 13 Zulhijjah. Qurban
tidak sah bila disembelih sebelum sholat Idul Adh-ha. Sabda Nabi SAW:
مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَإِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ وَمَنْ ذَبَحَ
بَعْدَ الصَّلَاةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ
“Barangsiapa menyembelih qurban sebelum sholat Idul Adh-ha (10 Zulhijjah)
maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa
menyembelih qurban sesudah sholat Idul Adh-ha dan dua khutbahnya, maka
sesungguhnya ia telah menyempurnakan ibadahnya (berqurban) dan telah sesuai
dengan sunnah (ketentuan) Islam.” (HR. Bukhari)
Sabda Nabi SAW :
كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ
“Semua hari tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah) adalah waktu untuk
menyembelih qurban.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)
Menyembelih qurban sebaiknya pada siang hari, bukan malam hari pada
tanggal-tanggal yang telah ditentukan itu. Menyembelih pada malam hari
hukumnya sah, tetapi makruh. Demikianlah pendapat para imam seperti Imam Abu
Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur, dan jumhur ulama (Matdawam, 1984).
Perlu dipahami, bahwa penentuan tanggal 10 Zulhijjah adalah berdasarkan
ru`yat yang dilakukan oleh Amir (penguasa) Makkah, sesuai hadits Nabi SAW
dari sahabat Husain bin Harits Al Jadali RA (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud
hadits no.1991). Jadi, penetapan 10 Zulhijjah tidak menurut hisab yang
bersifat lokal (Indonesia saja misalnya), tetapi mengikuti ketentuan dari
Makkah. Patokannya, adalah waktu para jamaah haji melakukan wukuf di Padang
Arafah (9 Zulhijjah), maka keesokan harinya berarti 10 Zulhijjah bagi kaum
muslimin di seluruh dunia.


B. Tempat


Diutamakan, tempat penyembelihan qurban adalah di dekat tempat sholat Idul
Adh-ha dimana kita sholat (misalnya lapangan atau masjid), sebab Rasulullah
SAW berbuat demikian (HR. Bukhari). Tetapi itu tidak wajib, karena
Rasulullah juga mengizinkan penyembelihan di rumah sendiri (HR. Muslim).
Sahabat Abdullah bin Umar RA menyembelih qurban di manhar, yaitu pejagalan
atau rumah pemotongan hewan (Abdurrahman, 1990).

Rabu, 17 Oktober 2012

05. Keutamaan Sholat Di Masjidil Haram Dan Masjid Nabawi


REPUBLIKA.CO.ID – Banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan shalat di Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha di Palestina. Ketiga Masjid tersebut adalah tempat suci umat Islam dan dianjurkan untuk berziarah mengunjunginya.
Riwayat dari Abu Hurairah RA mengatakan, Nabi SAW bersabda, “Satu kali shalat di masjidku (Masjid Nabawi) ini lebih baik daripada seribu kali shalat di tempat lain, kecuali Masjidil Haram.” (HR. Bukhari: 11/136).
Dan di dalam Shahih Muslim disebutkan bahwa Sufyan bin Uyainah meriwayatkan dari Az-Zuhri dari Said bin Musayyib dari Abi Hurairah RA yang menyampaikannya kepada Nabi SAW beliau bersabda, “Satu kali shalat di masjidku ini lebih utama daripada seribu kali shalat di tempat lain, selain Masjidil Haram.” (HR. Muslim: IV/124).
Ma’mar menceritakan dari Az-Zuhri dari Said bin Musayyib dari Abi Hurairah RA bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Satu kali shalat di masjidku ini lebih baik daripada seribu kali shalat di masjid-masjid yang lain, kecuali Masjidil Haram.” (HR. Muslim: IV/124).
Diceritakan juga dari Abu Hurairah, “Satu kali shalat di masjid Rasulullah SAW itu lebih utama daripada seribu kali shalat di masjid-masjid lain, kecuali Masjidil Haram, sebab Rasulullah adalah nabi yang terakhir dan masjid beliau adalah masjid yang terakhir.”
Abu Salamah dan Abu Abdillah berkata, “Kami tidak meragukan bahwa Abu Hurairah adalah orang yang (banyak/ bercerita tentang hadis Rasulullah SAW sehingga hal itu menghalangi kami untuk berististbat (menuntut kepastian) kepada Abu Hurairah mengenai hadis itu, sampai akhirnya dia wafat.
“Kami jadi saling mengingatkan akan hal itu, bahkan saling menyalahkan karena kami belum pernah berbicara kepada Abu Hurairah mengenai hal itu, sehingga dia mengunakannya kepada Rasulullah SAW untuk meyakinkan bahwa hadis itu berisnad kepada Nabi SAW.
“Maka kami menuturkan hadis itu berikut nash Abu Hurairah kepada Abdullah bin Ibrahim bin Qaridh. Lalu Abdullah bin Ibrahim berkata kepada kami, “Aku bersaksi bahwa aku telah mendengar Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku adalah nabi yang terakhir dan masjidku adalah masjid yang terakhir.” (HR. Muslim: IV/124).
Atha’ meriwayatkan dari Jabir, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Satu kali shalat di masjidku lebih utama daripada seribu kali shalat di tempat lain, selain Masjidil Haram. Sedangkan satu kali shalat di Masjidil Haram itu lebih utama daripada seratus ribu kali shalat di tempat lain.” (HR. Ibnu Majah: 1/450).
Ibnu Majah mengatakan bahwa nash (teks) inilah yang kini diyakini validitas dan kesahihannya oleh para ulama, dan tidak ada kontradiksi antara hadis ini dengan hadis sebelumnya.
Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Hannan Putra

04. Keutamaan Sholat Di Masjidil Haram Dan Masjid Nabawi


REPUBLIKA.CO.ID – Yahya bin Said bertanya kepada Abu Shaleh, “Apakah engkau mendengar Abu Hurairah menuturkan keutamaan shalat di masjid Rasulullah SAW?”
Lalu dia menjawab, “Tidak, tetapi Abdullah bin Ibrahim bin Qaridh pernah bercerita kepadaku bahwa dia telah mendengar Abu Hurairah bercerita tentang sabda Rasulullah SAW, ‘Satu kali shalat di masjidku ini lebih baik daripada seribu kali shalat, atau seperti seribu kali shalat di masjid yang lain, kecuali Masjidil Haram’.” (HR. Muslim: IV/125).
Diceritakan dari Ibnu Umar, bahwa Nabi SAW bersabda, “Satu kali shalat di masjidku ini lebih utama daripada seribu kali shalat di tempat lain, selain Masjidil Haram.” (HR. Muslim: IV/125).
Diceritakan dari Ibnu Abbas, ada seorang perempuan mengeluh akan suatu penyakit sambil berkata, “Apabila Allah menyembuhkanku, sungguh aku akan pergi untuk menunaikan shalat di Baitul Maqdis.”
Tidak lama setelah itu, dia sembuh. Kemudian dia bersiap-siap hendak pergi. Dia mendatangi Maimunah, istri Nabi SAW, seraya mengucapkan salam kepadanya. Lalu dia menceritakan hal itu kepadanya.
Maimunah berkata, “Duduklah, dan makanlah makanan yang telah engkau buat, lalu shalatlah di Masjid Rasul SAW, sebab aku pemah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Satu kali shalat di sana lebih utama daripada seribu kali shalat di masjid yang lain, kecuali Masjidil Ka’bah’.” (HR. Muslim: IV/126).
Di dalam Sunan Ibnu Majah disebutkan, Abi Abdillah Al-Aghar meriwayatkan dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Satu kali shalat di masjidku ini lebih utama daripada seribu kali shalat di tempat lain, selain Masjidil Haram.” (HR. Ibnu Majah: 1/450).
Diriwayatkan dari Nafi’, dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Satu kali shalat di masjidku ini lebih utama daripada seribu kali shalat di masjid yang lain, selain Masjidil Haram.” (HR. Ibnu Majah: 1/450).
Di dalam Sunan Ad-Darimy disebutkan, Sulaiman Al-Aghar mendengar Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Satu kali shalat di masjidku ini seperti seribu kali shalat di masjid yang lain, selain Masjidil Haram.” (HR. Darimy: 1/330).
Dan dari Ibnu Umar dikatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Satu kali shalat di masjidku ini lebih utama daripada seribu kali shalat di tempat lain, selain Masjidil Haram.” (HR. Darimy: 1/330).
Di dalam Musnad Al-Humaidy disebutkan bahwa Abu Hurairah mengatakan Rasulullah SAW bersabda, “Satu kali shalat di masjidku ini lebih baik daripada seribu kali shalat di masjid yang lain, selain Masjidil Haram.” (Musnad Al-Humaidy: 11/420).

Selasa, 16 Oktober 2012

03. Keutamaan Sholat Di Masjidil Haram Dan Masjid Nabawi


REPUBLIKA.CO.ID – Sulaiman bin Atiq mendengar Ibnu Zubair berkata di atas mimbar, “Satu kali salat di Masjidil Haram lebih utama daripada seratus (barangkali seratus ribu) kali salat di masjid yang lain.”
Al-Humaidy mengatakan bahwa Sufyan berkata, “Maka mereka berpandangan karena satu kali salat di Masjidil Haram lebih utama daripada seratus kali salat di masjid yang lain, kecuali Masjid Rasul, sebab keutamaannya adalah seratus kali salat.” (Musnad Al-Humaidy: 11/420).
Di dalam Akhbar Makkah karya Al-Azraqy disebutkan, bahwa Abdul Jabbar bin Ward Al-Makky telah mendengar Atha’ bin Abi Rabah berkata, “Masjidil Haram adalah Tanah Haram (baca: suci) secara keseluruhan.” (Al-Azraqy: 11/62).
Ali Al-Azdy juga mendengar Abu Hurairah berkata, “Sungguh, kami menemukan di dalam Kitab Allah Azza Wa Jalla bahwa batas Masjidil Haram adalah mulai dari bukit Hazwarah hingga Mas’a (tempat sa’i).” (Al-Azraqy: 11/62).
Abdullah bin Amr bin Ash berkata, “Dasar-dasar Masjidil Haram yang dibangun oleh Ibrahim adalah mulai dari bukit Hazwarah, hingga Mas’a sampai dengan muara Ajyad. Dan Khalifah Al-Mahdy telah membangun masjid di atas Mas’a.”
Said bin Musayyib menceritakan, seorang pria memohon izin kepada Umar bin Khathab RA untuk mendatangi Baitul Maqdis.
Maka Umar berkata kepadanya, “Pergi dan bersiap-siaplah. Jika engkau telah siap, beritahukanlah kepadaku.” Maka ketika dia telah siap, dia mendatangi Umar dan Umar berkata. “Pergunakanlah ia untuk menunaikan umrah.”
Dan dua orang pria melewatinya, sementara dia tengah menyerahkan unta sedekah (zakat), maka dia bertanya kepada mereka, “Kalian datang dari mana?”
Mereka menjawab, “Dari Baitul Maqdis.”
Kemudian Umar memukul mereka dengan cemeti sambil berkata, “Apakah itu haji sebagaimana haji ke Baitullah?”
Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami hanya sekedar lewat.” (Al-Azraqy: 11/63).
Atha’ bin Abi Rabah mengatakan, seorang pria datang kepada Rasulullah Saw pada hari Fath, lalu berkata, “Aku telah bernazar bahwa aku akan melakukan salat di Baitul Maqdis.”
Maka Rasulullah SAW bersabda, “Di sini lebih utama, maka shalatlah!”
Tetapi pria itu terus mengatakan hal itu sebanyak tiga kali. Maka Nabi SAW bersabda, “Demi Tuhan yang jiwa Abul Qasim berada di tangannya, satu kali shalat di sini lebih utama daripada seribu kali shalat di negeri yang lain.” (Al-Azraqy: 11/64).



02. Keutamaan Sholat Di Masjidil Haram Dan Masjid Nabawi


REPUBLIKA.CO.ID – Ismail bin Umayyah menceritakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Satu kali shalat di masjidku ini lebih baik daripada seribu kali shalat di masjid lain kecuali di Masjidil Haram. Dan keutamaan Masjidil Haram itu sendiri adalah seratus kali shalat.” (Al-Azraqy: 11/64).
Atha’ bin Abi Rabah mendengar Ibnu Zubair mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,“Keutamaan Masjidil Haram atas masjidku ini adalah seratus kali shalat.”
Lalu Khallad bertemu dengan Amr bin Syu’aib dan mengatakan bahwa Atha’ bin Abi Rabah telah bercerita kepadanya tentang perkataan Ibnu Zubair,
Rasulullah SAW bersabda, “Keutamaan Masjidil Haram atas masjidku adalah seratus kali shalat.” Lalu Amr bin Syu’aib berkata, “Atha’ menyangka bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Dan keutamaan Masjidil Haram atas masjidku adalah sebagaimana keutamaan masjidku atas masjid-masjid yang lain’.” (Al-Azraqy: 11/64).
Dan di dalam Akhbar Makkah karya Al-Fakihy disebutkan bahwa Jabir RA mengatakan, Rasulullah SAW bersabda, “Satu kali shalat di Masjidil Haram sama dengan seratus ribu, dan di masjidku sama dengan seratus, sedangkan di Masjid Baitul Maqdis sama dengan lima ratus.” (Al-Fakihy: 11/90).
Atha’ menceritakan dari Abdullah bin Zubair RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Satu kali shalat di masjidku ini lebih utama daripada seratus ribu kali shalat di tempat lain, selain Masjidil Haram. Dan satu kali shalat di Masjidil Haram lebih utama daripada seratus kali shalat di masjidku.” (Al-Fakihy: 11/90).
Salamah bin Wardan mendengar Abu Said bin Abil Ma’ally berkata, “Aku mendengar Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Satu kali shalat di masjidku ini lebih baik daripada seribu kali shalat di tempat lain, selain Masjidil Haram’.” (Al-Fakihy: 11/90).
Ummi Darda’ RA mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Satu kali shalat di Masjidil Haram lebih utama daripada seratus ribu kali shalat di masjid yang lain, dan satu kali shalat di Baitul Maqdis lebih utama daripada seribu kali shalat di tempat lain.” (Al-Fakihy: 11/91).
Ibnu Abbas RA berkata, “Barangsiapa mengerjakan shalat di Masjidil Haram, di sekitar Baitullah yang dihormati, dengan berjamaah, maka Allah akan mencatat untuknya sebanyak dua puluh lima kali seratus ribu kali shalat.”
Lalu seorang tabi’in bertanya kepadanya, “Apakah ini pendapatmu, wahai Ibnu Abbas, ataukah dari Rasulullah SAW?” Dia menjawab, “Oh bukan pendapatku, melainkan dari Rasulullah SAW.” (Al-Fakihy: 11/92).
Said bin Jubair menceritakan dari Ibnu Abbas RA, sesungguhnya Nabi SAW pernah membaca firman Allah,“Sesungguhnya (apa yang disebutkan) dalam, (surah) ini, benar-benar menjadi peringatan bagi kaum yang menyembah Allah.” (QS. Al-Anbiya’: 106). Lalu beliau bersabda, “Itu adalah shalat lima waktu berjamaah di masjid ini.” (Al-Fakihy: 11/96).

 

01. Keutamaan Sholat Di Masjidil Haram Dan Masjid Nabawi


REPUBLIKA.CO.ID – Abi Amr Asy Syaibany mengatakan, Abdullah bin Mas’ud berkata, “Tidak ada (shalat) yang lebih utama bagi seorang perempuan daripada salatnya di rumahnya, kecuali (shalat) di Masjidil Haram.” (Al-Fakihy: 11/98).
Atha’ menceritakan, seorang pria bernazar untuk mengerjakan shalat di Baitul Maqdis, lalu Nabi SAW bersabda, “Di sinilah” maksudnya di Masjidil Haram. Ibnu Muqri berkata, “Hendaklah dia mengerjakan shalat di Makkah.” (Al-Fakihy: 11/101).
Abdullah bin Thawus menceritakan dari ayahnya RA, ada seorang pria mendatangi Nabi SAW sambil berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah bernazar apabila Allah menaklukkan Kota Makkah untuk engkau, aku akan mengerjakan shalat di Baitul Maqdis.”
Kemudian beliau bersabda, “Salatlah di sini.” Lalu dia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku bernazar untuk mengerjakan shalat di Baitul Maqdis.” Beliau bersabda, “Baik, shalatkah engkau di Baitul Maqdis, (tetapi) sungguh, seandainya engkau mengerjakan shalat di sini, maka cukuplah itu bagimu.” (Al-Fakihy: 11/105).
Mujahid mengatakan bahwa shalat sunah seseorang di rumahnya itu lebih baik daripada shalat sunah (di masjid) selain Masjidil Haram dan Masjid Madinah. (Al-Fakihy: 11/105).
Ibnu Abbas RA berkata, “Tanah Haram secara keseluruhan adalah Masjidil Haram.” (Al-Fakihy: 11/106).
Mengenai firman Allah SWT, “Sesungguhnya orang-orang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidil Haram .” (QS. Al-Hajj: 25), Qatadah mengatakan bahwa Masjidil Haram adalah Makkah. (Al-Fakihy: II/106).
Atha’ menuturkan, “Masjidil Haram adalah apa yang dikitari oleh batas-batas Al-Haram (Tanah Suci). (Al-Fakihy: 11/106).
Dalam Sunan Ibnu Majah disebutkan bahwa Anas bin Malik mengatakan Rasulullah SAW bersabda,“Shalat seorang pria di rumahnya sama dengan satu kali shalat, sedangkan salatnya di masjid kabilah sama dengan dua puluh lima kali shalat, lalu shalatnya di masjid yang ditempati shalat Jumat sama dengan lima ratus kali shalat, kemudian salatnya di Masjidil Aqsha sama dengan lima puluh ribu kali shalat, berikutnya salatnya di Masjidku sama dengan lima puluh ribu kali shalat, dan salatnya di Masjidil Haram sama dengan seratus ribu kali shalat.” (HR. Ibnu Majah: 1/452).
Abdullah bin Umar mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Satu kali shalat di masjidku lebih utama daripada seribu kali shalat di masjid yang lain, kecuali Masjidil Haram.” Dan diceritakan bahwa Maimunah, istri Nabi SAW berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah SAW mengatakan bahwa satu kali shalat di masjidku ini lebih utama daripada seribu kali shalat di masjid yang lain, selain Masjidil Ka’bah.” (HR. Nasa’i: V/213).

Senin, 15 Oktober 2012

Menggapai Ketenangan Jiwa yang Islami



Dalam perkembangan hidupnya, manusia seringkali berhadapan dengan berbagai masalah yang mengatasinya berat. Akibatnya timbul kecemasan, ketakutan dan ketidaktenangan, bahkan tidak sedikit manusia yang akhirnya kalap sehingga melakukan tindakan-tindakan yang semula dianggap tidak mungkin dilakukannya, baik melakukan kejahatan terhadap orang lain seperti banyak terjadi kasus pembunuhan termasuk pembunuhan terhadap anggota keluarga sendiri maupun melakukan kejahatan terhadap diri sendiri seperti meminum minuman keras dan obat-obat terlarang hingga tindakan bunuh diri.

Oleh karena itu, ketenangan dan kedamaian jiwa sangat diperlukan dalam hidup ini yang terasa kian berat dihadapinya. Itu sebabnya, setiap orang ingin memiliki ketenangan jiwa. Dengan jiwa yang tenang kehidupan ini dapat dijalani secara teratur dan benar sebagaimana yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Untuk bisa menggapai ketenangan jiwa, banyak orang yang mencapainya dengan cara-cara yang tidak Islami, sehingga bukan ketengan jiwa yang didapat tapi malah membawa kesemrautan dalam jiwanya itu. Untuk itu, secara tersurat, Al-Qur'an menyebutkan beberapa kiat praktis.


1. Dzikrullah


Dzikir kepada Allah Swt merupakan kiat untuk menggapai ketenangan jiwa, yakni dzikir dalam arti selalu ingat kepada Allah dengan menghadirkan nama-Nya di dalam hati dan menyebut nama-Nya dalam berbagai kesempatan. Bila seseorang menyebut nama Allah, memang ketenangan jiwa akan
diperolehnya. Ketika berada dalam ketakutan lalu berdzikir dalam bentuk menyebut ta'awudz (mohon perlindungan Allah), dia menjadi tenang. Ketika berbuat dosa lalu berdzikir dalam bentuk menyebut kalimat istighfar atau taubat, dia menjadi tenang kembali karena merasa telah diampuni dosa-dosanya itu. Ketika mendapatkan kenikmatan yang berlimpah lalu dia berdzikir dengan menyebut hamdalah, maka dia akan meraih ketenangan karena dapat memanfaatkannya dengan baik dan begitulah seterusnya sehingga dengan dzikir, ketenangan jiwa akan diperoleh seorang muslim, Allah berfirman yang artinya: "(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tentram". (13:28). 

Untuk mencapai ketenangan jiwa, dzikir tidak hanya dilakukan dalam bentuk menyebut nama Allah, tapi juga dzikir dengan hati dan perbuatan. Karena itu, seorang mu'min selalu berdzikir kepada Allah dalam berbagai kesempatan, baik duduk, berdiri maupun berbaring.

2. Yakin Akan Pertolongan Allah


Dalam hidup dan perjuangan, seringkali banyak kendala, tantangan dan hambatan yang harus dihadapi, adanya hal-hal itu seringkali membuat manusia menjadi tidak tenang yang membawa pada perasaan takut yang selalu menghantuinya. Ketidaktenangan seperti ini seringkali membuat orang yang menjalani kehidupan menjadi berputus asa dan bagi yang berjuang menjadi takluk bahkan berkhianat.

Oleh karena itu, agar hati tetap tenang dalam perjuangan menegakkan agama Allah dan dalam menjalani kehidupan yang sesulit apapun, seorang muslim harus yakin dengan adanya pertolongan Allah dan dia juga harus yakin bahwa pertolongan Allah itu tidak hanya diberikan kepada orang-orang yang terdahulu, tapi juga untuk orang sekarang dan pada masa mendatang, Allah berfirman yang artinya: "Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai khabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar tentram hatimu karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (3:126, lihat juga QS 8:10).

Dengan memperhatikan betapa banyak bentuk pertolongan yang diberikan Allah kepada para Nabi dan generasi sahabat dimasa Rasulullah Saw, maka sekarangpun kita harus yakin akan kemungkinan memperoleh pertolongan Allah itu dan ini membuat kita menjadi tenang dalam hidup ini. Namun harus kita ingat bahwa pertolongan Allah itu seringkali baru datang apabila seorang muslim telah mencapai kesulitan yang sangat atau dipuncak kesulitan sehingga kalau diumpamakan seperti jalan, maka jalan itu sudah buntu dan mentok. Dengan keyakinan seperti ini, seorang muslim tidak akan pernah cemas dalam menghadapi kesulitan karena memang pada hakikatnya pertolongan Allah itu dekat, Allah berfirman yang artinya: "Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu?. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah rasul dan orang-orang yang beriman: "bilakah datangnya pertolongan Allah?". Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat". (QS 2:214). 

3. Memperhatikan Bukti Kekuasaan Allah


Kecemasan dan ketidaktenangan jiwa adalah karena manusia seringkali terlalu merasa yakin dengan kemampuan dirinya, akibatnya kalau ternyata dia merasakan kelemahan pada dirinya, dia menjadi takut dan tidak tenang, tapi kalau dia selalu memperhatikan bukti-bukti kekuasaan Allah dia akan menjadi yakin sehingga membuat hatinya menjadi tentram, hal ini karena dia sadari akan besarnya kekuasaan Allah yang tidak perlu dicemasi, tapi malah untuk dikagumi. Allah berfirman yang artinya: "Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati". Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu?". Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tenang (tetap mantap dengan imanku)". Allah berfirman: ("kalau begitu) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah, kemudian letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera". Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS 2:260).

4. Bersyukur


Allah Swt memberikan kenikmatan kepada kita dalam jumlah yang amat banyak. Kenikmatan itu harus kita syukuri karena dengan bersyukur kepada Allah akan membuat hati menjadi tenang, hal ini karena dengan bersyukur, kenikmatan itu akan bertambah banyak, baik banyak dari segi jumlah ataupun minimal terasa banyaknya. Tapi kalau tidak bersyukur, kenikmatan yang Allah berikan itu kita anggap sebagai sesuatu yang tidak ada artinya dan meskipun jumlahnya banyak kita merasakan sebagai sesuatu yang sedikit.

Apabila manusia tidak bersyukur, maka Allah memberikan azab yang membuat mereka menjadi tidak tenang, Allah berfirman yang artinya: "Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram, rizkinya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk) nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat". (QS 16:112). 

5. Tilawah, Tasmi' dan tadabbur Al-Qur'an


Al-Qur'an adalah kitab yang berisi sebaik-baik perkataan, diturunkan pada bulan suci Ramadhan yang penuh dengan keberkahan, karenanya orang yang membaca (tilawah), mendengar bacaan (tasmi') dan mengkaji (tadabbur) ayat-ayat suci Al-Qur'an niscaya menjadi tenang hatinya, manakala dia betul-betul beriman kepada Allah Swt, Allah berfirman yang artinya: "Allah telah menurunkan perkataan yang baik (yaitu) Al-Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhanya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya". (QS 39:23). 

Oleh karena itu, sebagai mu'min, interaksi kita dengan al-Qur'an haruslah sebaik mungkin, baik dalam bentuk membaca, mendengar bacaan, mengkaji dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Manakala interaksi kita terhadap Al-Qur'an sudah baik, maka mendengar bacaan Al-Qur'an saja sudah membuat keimanan kita bertambah kuat yang berarti lebih dari sekedar ketenangan jiwa, Allah berfirman yang artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal". (QS 8:2). 

Dengan berbekal jiwa yang tenang itulah, seorang muslim akan mampu menjalani kehidupannya secara baik, sebab baik dan tidak sesuatu seringkali berpangkal dari persoalan mental atau jiwa. Karena itu, Allah Swt memanggil orang yang jiwanya tenang untuk masuk ke dalam syurga-Nya, Allah berfirman yang artinya: "Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam syurga-Ku". (QS 89:27-30). 

Akhirnya, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memantapkan ketenangan dalam jiwa kita masing-masing sehingga kehidupan ini dapat kita jalani dengan sebaik-baiknya.

Wallahua'lam

Orang Islam Harus Kaya

Umat Islam harus kaya. Mengapa? Menurut pemilik restoran Ayam Bakar Mas Mono, Mono, peradaban Islam dibangun oleh sebagian sahabat Rasulullah SAW yang berprofesi sebagai saudagar atau pengusaha sukses. Bahkan, kata dia, istri Rasulullah, Kadijah merupakan pengusaha sukses dan kaya raya. Khadijah memiliki andil yang sangat besar dalam dakwah Islamiyah.

"Mereka (para sahabat) bekerja keras untuk menjemput rezeki. Dari kerja keras itu, berdirilah peradaban Islam," kata Mas Mono, Selasa (3/12). Di situlah, papar dia, letak ensensi pentingnya umat Islam harus kaya. Melalui kekayaan itu umat Islam memiliki peluang besar untuk mengembalikan kejayaan Islam yang pernah dicapai pada Abad Pertengahan. 

"Dengan kekuatan materi, kita bisa banyak membantu orang lain, terutama orang tua kita. Contoh nyata itu terungkap bagaimana sahabat Nabi SAW berdakwah dengan kekayaan yang mereka miliki."


dari ROL

Cinta Dunia Takut Mati (hubbuddunya wa karohiatul maut)


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “ Akan terjadi masa dimana umat-umat diluar islam berkumpul disamping kalian wahai umat islam. Sebagaimana berkumpulnya orang-orang yang menyantap hidangan. Lalu seorang Sahabat bertanya: ‘Apakah kami pada saat itu sedikit wahai Rasulullah? “Beliau menjawab: “Tidak. Bahkan ketika itu jumlah kalian banyak. Akan tetapi kalian ketika itu bagaikan buih dilautan. Ketika itu Allah hilangkan dari musuh-musuh kalian rasa segan dan takut terhadap kalian dan kalian tertimpa penyakit wahn. Sahabat tadi bertanya lagi : ‘wahai Rasulullah apa yang baginda maksud dengan wahn itu? , Rasulullah menjawab: “cinta dunia dan takut mati.

Bagaimana cara mengatasi Wahn tersebut :
  1. Meyakini bahwa dunia adalah alat perjuangan untuk bekal diakhirat berupa Taqwa. Islam menganjurkan kita untuk kaya dengan adanya perintah Zakat, Haji, tapi semuanya kita jadikan alat atau bekal untuk akhirat berupa takwa.
  2. Meyakini bahwa Allah selalu melihat kita, jika kita berdua, maka yang ketiga adalah Allah, jika kita bertiga maka yang keempat  Allah. Jika kita merasa selalu dilihat Allah, maka tidak ada lagi Pegawai yang mencuri/korupsi, tidak ada pedagang yang mengurangi meteran atau  timbangan.
  3. Meyakini dan menyadari bahwa setiap tindakan kita direkam oleh Anggota Badan kita, yang nanti  di hari akhir, ; tangan, kaki, lidah kita akan bersaksi di depan Allah
wallahua'lam

Minggu, 14 Oktober 2012

Istri Sholihah : Tidak Mengingkari Kebaikan Suaminya


Pelajaran dari kutaib “Shifat az-Zaujah ash-Sholihah” karya Syaikh Abdurrozzaq al-Badr -hafidzohulloh- (bagian 11)
Dan diantara sifat istri sholihah: Tidak kufur terhadap orang-orang yang memberinya nikmat, yaitu tidak mengingkari nikmat-nikmat yang telah dimudahkan Alloh tabaroka wa ta’ala kepadanya melalui suaminya, sebagaimana dalam hadits:
لَا يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ
“Tidak dikatakan seorang itu bersyukur kepada Alloh apabila ia tidak bersyukur kepada manusia.”
[HR. Ahmad no. 7939 dan Abu Dawud no. 4811 dari hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu anhu dan dishohihkan al-Albani dalam ash-Shohihah no. 416]
Kemudian hadits lain yang menjelaskan masalah ini adalah yang diriwayatkan oleh al-Bukhori dalam al-Adab al-Mufrod dari hadits Asma bintu Yazid al-Anshoriyyah, ia berkata: “Nabi shollallohu alaihi wa sallam pernah lewat di depanku ketika aku sedang bersama teman-teman sebayaku, lalu beliau mengucapkan salam kepada kami dan berkata:
«إِيَّاكُنَّ وَكُفْرَ الْمُنْعِمِينَ» ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا كُفْرُ الْمُنْعِمِينَ؟ قَالَ: ” لَعَلَّ إِحْدَاكُنَّ تَطُولُ أَيْمَتُهَا مِنْ أَبَوَيْهَا، ثُمَّ يَرْزُقُهَا اللَّهُ زَوْجًا، وَيَرْزُقُهَا مِنْهُ وَلَدًا، فَتَغْضَبُ الْغَضْبَةَ فَتَكْفُرُ فَتَقُولُ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ “
“berhati-hatilah kalian dari kufur terhadap pemberi nikmat”, aku bertanya: “wahai Rosululloh, apa itu kufur terhadap pemberi nikmat?”, beliau menjawab: “Mungkin ada salah seorang diantara kalian yang telah lama menyendiri (melajang) bersama orang tuanya kemudian Alloh memberinya rizki berupa seorang suami dan Alloh memberinya rizki berupa anak dari suaminya itu. Namun ketika ia marah kepada suaminya ia berbuat kufur dengan mengatakan: “Aku tidak pernah melihat satu kebaikanpun darimu.”
[HR.Bukhori dalam al-Adabul Mufrod no. 1048, dan dishohihkan al-Albani dalam ash-Shohihah no. 823].
Perkataan beliau: “telah lama menyendiri (melajang) bersama orang tuanya”, maksudnya adalah wanita tersebut telat nikah.
Dan diriwayatkan dalam as-Sunan al-Kubro karya an-Nasa’i dari Abdulloh bin Umar, ia berkata: Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَنْظُرُ اللهُ إِلَى امْرَأَةٍ لَا تَشْكَرُ لِزَوْجِهَا وَهِيَ لَا تَسْتَغْنِي عَنْهُ
“Alloh tidak melihat kepada seorang wanita yang tidak bersyukur kepada suaminya, padahal ia butuh kepada suaminya itu.”
[HR. an-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubro no. 9135. Dishohihkan al-Albani dalam ash-Shohihah no. 289]
***
Yang perlu diperhatikan agar tidak terjadi salah paham, bahwa kekufuran yang disebutkan dalam hadits ini bukanlah kekufuran yang mengeluarkan seseorang dari keislamannya (istilahnya “kufrun duuna kufrin”), akan tetapi ia termasuk dosa besar dan termasuk diantara penyebab banyaknya wanita dimasukkan ke dalam neraka. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ، يَكْفُرْنَ» قِيلَ: أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ؟ قَالَ: ” يَكْفُرْنَ العَشِيرَ، وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا، قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
“Neraka diperlihatkan kepadaku, ternyata mayoritas penghuninya adalah kaum wanita karena mereka berbuat kufur”, beliau ditanya: “apakah karena mereka kufur kepada Alloh?”, beliau menjawab: “Mereka mengkufuri suami dan mengingkari kebaikannya, seandainya engkau berbuat baik pada salah seorang dari mereka sepanjang masa kemudian ia melihat sesuatu yang tidak ia sukai darimu, ia akan mengatakan: “Aku sama sekali tidak pernah melihat satu kebaikanpun darimu.” [HR. al-Bukhori no. 29]

Peran Blog Dalam Islam

Keseimbangan hidup adalah keseimbangan antara 2 hal yang berbeda. Misalnya Laki-laki & perempuan, Hitam & Putih,  Siang & malam, dan yang tidak kalah pentingnya adalah keseimbangan DUNIA & AKHERAT. Bener Gak ? Blog termasuk salah satu hal yang bisa kita gunakan sebagai ladang untuk mencari DUNIA (uang), namun Blog juga dapat kita jadikan sebagai ladang  AKHERAT (amal). Kenapa bisa berkata seperti ini. Baiklah, coba kita meresapi hadist nabi, yaitu :

Hadis Riwayat Imam Muslim, daripada Abu Hurairah r.a sabda Rasulullah s.a.w; “Apabila mati anak Adam, maka terputuslah segala amalannya melainkan tiga perkara : Sedekah jariah, Ilmu yang bermanfaat dan Anak soleh yang mendoakan untuknya“.

Hadis ini sangat populer, dan insya Allah Sohih, dari hadis tersebut tertangkap makna bahwa ada tiga amalan yang apabila kita mati, maka amalan tersebut masih memberikan pahala untuk kita, yaitu :

1. Sedekah Jariyah
2. Ilmu yang bermanfaat, dan
3. Anak yang soleh

Dari amalan diatas, ILMU YANG BERMANFAAT, termasuk kedalam kelompok amalan yang akan mengalir terus menerus pahalanya meskipun kita sudah meninggal dunia. Lalu apa hubungannya dengan Blog ? Blog merupakan sebuah media, yang bisa terbaca oleh banyak orang. Bayangkan, banyak orang bisa membaca tentang apa yang kita tulis, jika kita menggunakan blog sebagai syiar, maka kemungkinan juga akan terbaca oleh banyak orang, sehingga syiar kita akan sampai kepada orang-orang. Kita mengajarkan yang baik, maka kita akan mendapatkan yang baik.

Alangkah sangat bagusnya, jika blog yang kita gunakan sebagai ladang mencari uang, bisa juga menjadi ladang amal untuk kita. Menurut teman-teman hal ini mungkin tidak ? Alangkah sangat beruntungnya kita, jika kelak ketika sudah waktunya kita mati, blog kita menjadi ladang amalan untuk kita yang bisa memberikan pahala yang mengalir kepada kita ? Hanya gara-gara dengan ijin Allah kita menuliskan sesuatu yang baik di blog kita, dan telah dibaca oleh banyak orang, sehingga yang membaca tersebut bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat yang kita tulis di blog kita. Yang bila dikerjakan oleh mereka akan membuat suatu kebaikan di dunia ini, dan juga menjadi amalan untuk mereka.

Dan, jika kita tidak berani menulis tentang syiar, karena ilmu yang kita punyai tidak cukup, jangan patah arang, kita bisa cari blog yang membahas tentang syiar Islam, lalu sampaikan ke blog kita dan sebaiknya berikan link kesana, sehingga dengan seperti itu, kita berharap bahwa link tersebut akan membawa teman-teman dalam syiar. Jangan takut kehilangan pengunjung blog kita yang sudah kita cari mati-matian pagi siang malam peras otak bermain SEO hehehe, insya Allah, rejeki itu datangnya dari Allah, bukan dari pengunjung Blog, mereka kan hanya perantaranya saja Hehehehe. Jadi bagaimana ? Ayo kita jadikan blog kita sebagai ladang amal, dan semoga juga bisa menjadi ladang uang 

Sabtu, 13 Oktober 2012

Wanita dalam Islam


Sering orang yang tidak paham ajaran Islam menganggap Islam merendahkan kaum wanita. Padahal itu tidak benar. Islam justru memuliakan kaum wanita.
Saat seorang lelaki bertanya kepada Nabi Muhammad, kepada siapa dia harus berbakti, Nabi Muhammad menjawab kepada ibunya. Pertanyaan yang sama diajukan 3x, jawaban tetap sama, yaitu: ibu. Baru pada pertanyaan ke 4 Nabi menjawab: kepada ayah.
Itu menandakan posisi seorang ibu (wanita) di atas seorang ayah (lelaki) di dalam Islam:
Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Seseorang datang menghadap Rasulullah saw. dan bertanya: Siapakah manusia yang paling berhak untuk aku pergauli dengan baik? Rasulullah saw. menjawab:
Ibumu. Dia bertanya lagi: Kemudian siapa? Rasulullah saw. menjawab: Kemudian ibumu. Dia bertanya lagi: Kemudian siapa? Rasulullah saw. menjawab: Kemudian
ibumu. Dia bertanya lagi: Kemudian siapa? Rasulullah saw. menjawab lagi: Kemudian ayahmu. (Shahih Muslim No.4621)
Ada lagi hadits yang menyebut Surga di bawah telapak kaki ibu. Meski ada yang bilang itu hadits dhoif, namun pada dasarnya Islam sangat memuliakan ibu. Sehingga durhaka kepadanya adalah satu dosa besar.
Kenapa kita harus memuliakan ibu? Jawabnya ada di Al Qur’an:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Ku lah kamu akan kembali.” (QS. Luqman: 14)
Begitu pula dalam firman-Nya, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada ibu bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung dan menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (QS. Al-Ahqaf: 15)
Dalam berbagai ayat Al Qur’an, kata pria dan wanita selalu disebut berdampingan. Misalnya “Muslimiin wal Muslimaat” (Muslim lelaki dan Muslim perempuan), “Mu’miniin wal mu’minaat” (Mukmin pria dan Mukmin perempuan), dsb di dalam surat Al Ahzab 35.
Ada sebagian orang yang beranggapan bahwa Islam tak adil karena dalam hal warisan, wanita hanya dapat 1 bagian sementara pria dapat 2 bagian. Bagian wanita lebih sedikit. Itu pendapat yang keliru.
Dalam Islam, wanita berhak menerima mahar dan juga menerima nafkah dari suaminya. Sedangkan pria, dia berkewajiban memberi mahar dan juga nafkah bagi istrinya. Jadi seandainya pria dapat 2, pria tersebut harus memberi 1-2 bagian yang dia dapat sementara wanita tidak ada kewajiban memberikan hartanya kepada suaminya. Jadi tak ada yang dirugikan di situ. Secara matematis, seorang wanita akhirnya dapat 2 bagian sementara lelaki bisa jadi hanya 1 bahkan tidak ada.
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan..” [An Nisaa' 4]
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…” [An Nisaa' 34]
Tentu saja itu implikasinya adalah seorang suami adalah pemimpin rumah tangganya. Bukan sebaliknya. Janggal rasanya jika istri yang bekerja di kantor mencari nafkah, sementara suaminya di rumah mengurus rumah tangga.
Jangan anggap bahwa dengan diangkatnya pria sebagai pemimpin, maka wanita direndahkan. Bukan itu. Bagaimana pun juga dalam 1 kumpulan itu harus ada 1 pemimpin agar teratur. Entah itu dalam negara, propinsi, kota, kelas, dan juga dalam rumah tangga. Allah sudah menetapkan itu agar tidak ada “perebutan kekuasaan”…
Meski ibu kita Kartini menyerukan emansipasi atau persamaan hak, bukan berarti wanita harus sama persis dengan pria. Ibarat sepatu, keduanya kiri semua. Tidak ada yang kanan. Akhirnya malah tidak lengkap dan tidak bisa dipakai.
Tetap ada perbedaan antara pria dan wanita, paling tidak dari segi fisiknya. Tidak mungkin saat di rumah ada maling, suami menyuruh istrinya untuk menghadapi maling tersebut. Keduanya harus saling melengkapi.
Seorang istri, hendaknya tinggal di rumah mendidik anak-anaknya dan mengatur rumah tangganya:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu…”
Seandainya berbisnis, hendaknya seorang wanita berbisnis dari rumahnya. Banyak para istri yang berbisnis dari rumahnya seperti usaha catering dsb dan justru penghasilannya justru lebih besar dari suaminya dan bisa membantu anak-anaknya bersekolah dan kuliah. Itu lebih baik ketimbang bekerja di kantor atau sebagai buruh dengan gaji yang kecil. Sudah waktu terbuang, keluarga terbengkalai, hasilnya juga tidak seberapa.
Siti Khadijah adalah seorang pebisnis yang tangguh. Beliau melakukan ekspor/impor hingga ke Suriah. Namun yang keluar memimpin dagang adalah Nabi Muhammad yang kemudian jadi suaminya.
Seorang wanita mengandung anaknya. Kemudian menyusui anaknya. Kaum pria tidak mungkin melakukan hal itu. Itulah sunnatullah agar wanita selalu dekat dan mendidik anak-anaknya. Tamu bulanan bagi wanita bisa jadi agar wanita senantiasa tinggal di rumah jika tak ada keperluan penting.
Tentu saja saat semua kewajiban sudah dilaksanakan para wanita, tidak ada halangan bagi mereka untuk melakukan aktivitas lainnya.
Di zaman Nabi bahkan ada beberapa wanita yang ikut berperang meski umumnya adalam membantu memberi makan dan minum serta mengobati prajurit yang terluka. Oleh karena itu saat Barat mengelu-elukan Florence Nightingale (lahir di Florence, Italia, 12 Mei 1820), yang jadi perawat mengobati tentara yang terluka, ternyata Islam telah lebih dulu melakukannya. Islam melakukannya 1100 tahun lebih awal!
Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata:
Rasulullah saw. pernah berperang bersama Ummu Sulaim serta beberapa orang kaum wanita Ansar. Ketika beliau sedang bertempur, mereka membantu memberi minum serta mengobati para prajurit yang terluka. (Shahih Muslim No.3375)
Bahkan ada pula wanita yang terjun langsung berperang melawan musuh seperti Ummu ‘Umarah di dalam perang Uhud. Ummu Hakim bahkan membunuh tujuh orang Romawi dengan tiang kemah di jembatan yang hingga sekarang dinamakan jembatan Ummu Hakim di dalam perang Ajnadin.
Tentu saja Nabi sangat selektif dalam mengizinkan wanita ikut bertempur. Hanya wanita yang sekuat pria saja dan punya keberanian tinggi yang beliau izinkan perang sehingga tidak jadi korban. Ini karena memang dari segi fisik, wanita lebih lemah daripada pria.
Seorang mantan tentara wanita AS, Catherine L Aspy menulis di majalah Reader’s Digest bahwa wanita sebaiknya tidak diizinkan bertempur. Ini karena wanita terkuat di satuannya itu sama dengan pria terlemah. Standar kekuatan dan kecepatan untuk wanita pun diturunkan sehingga tidak sama dengan pria. Di Bosnia banyak tentara wanita yang tidak bisa bergerak cepat dibanding pria karena beban perlengkapan yang berat. Ada pula yang kontra karena terjadinya banyak pelecehan seksual terhadap tentara wanita oleh tentara pria dan juga atasannya.
Nah Nabi Muhammad sangat selektif dalam hal ini. Hanya wanita yang betul-betul kuat saja yang boleh bertempur.
Namun di dalam Islam diusahakan wanita tidak bebas bercampur dengan pria yang bukan muhrimnya sehingga terhindar dari zina. Misalnya dokter perempuan, khusus menangani pasien perempuan. Bukan sebaliknya. Kurang pantas jika ada direktur pria mempekerjakan sekretaris wanita yang terus menemaninya hingga ke luar kota. Model seperti itu jadi bahan bagi cerita/film perselingkuhan tentang direktur dengan sekretarisnya yang cantik.
Jika wanita mengambil-alih pekerjaan pria misalnya jadi buruh-buruh di pabrik, mereka selain gajinya kecil pun akhirnya tidak bisa merawat dan mendidik anak-anak mereka. Anak-anaknya harus dititipkan. Sementara kaum pria akhirnya banyak yang menganggur karena pekerjaan mereka direbut oleh kaum wanita.
Jadi hendaknya dihindari hal itu. Banyak bisnis yang bisa dilakukan oleh kaum ibu di rumah sehingga bukannya merebut pekerjaan pria, mereka justru bisa memberi lapangan kerja bagi yang lainnya. Banyak wanita yang sukses di bisnis katering dan mempekerjakan banyak tetangganya yang juga wanita.
Saat kita membaca biografi ibu Kartini mungkin kita beranggapan seolah-olah Islam melarang wanita menuntut ilmu setinggi mungkin. Toh akhirnya ke dapur juga tempatnya. Itu adalah pandangan adat. Bukan Islam.
Dalam Islam, baik lelaki mau pun perempuan mempunyai kewajiban menuntut ilmu.
“Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim (Muslim lelaki dan Muslim perempuan).” (HR. Ibnu Majah)
Dalam Islam, banyak pula wanita yang menjadi alim ulama (Ilmuwan) seperti Siti ‘Aisyah yang meriwayatkan ribuan hadits dan juga Hafshah, Hindun, Maimunah, dsb yang jadi referensi bagi para penyusun kitab Hadits seperti Imam Bukhari dan Muslim.
Namun Raden Ajeng Kartini yang lahir pada 21 April tahun 1879 di kota Jepara, Jawa Tengah, terpengaruh juga dengan beberapa ayat Al Qur’an. Misalnya kumpulan tulisannya kepada Nyonya JP Abendanon yang diberi judul “Door Duisternis Tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang), menurut Ahmad Mansur Suryanegara, terinspirasi oleh Surat Al Baqarah ayat 257 yang berbunyi “Minazh Zhulumaati Ilan Nuur” (Dari Kegelapan kepada Cahaya).
dari berbagai sumber