Senin, 18 November 2013

Manfaat Tidak Menggunakan Celana Dalam

Manfaat Tidak Menggunakan Celana Dalam


 

Celana dalam tidak lepas dari keseharian kita. Namun ada yang berpendapat ada manfaat tidak memakai celana dalam bagi kesehatan. Hal ini diungkap dalam artikel di bawah yang diambil dari : http://www.doktercantik.com/1191/manfaat-tidak-menggunakan-celana-dalam-bagi-kesehatan.html#_

 

 

 

Manfaat tidak memakai celana dalam bagi kesehatan masih menimbulkan pro dan kontra. Pada umumnya baik pria maupun wanita di

celana dalam

Minggu, 15 September 2013

KOREKSI DIRI

SEBUAH KISAH MENARIK YANG LAYAK KITA RENUNGKAN...
KISAH DARI AL-USTADZ MUKHTAR HAFIZHAHULLAH

Berikut Kisah beliau Al ustadz Mukhtar Hafidzohullah :

" Perjalanan indah hari ini! Seorang kawan dari 'Utmah (daerah asal Syaikh Utsman As Salimi) mengajak Ana untuk turut serta dalam acara silaturahmi ke 'Utmah. Sekitar 17 peserta lumayan ramai juga untuk ukuran mobil sekelas ELF yang kami pakai. Ada banyak pemandangan baru sepanjang perjalanan. Lumayan juga untuk refreshi...ng. He…he…

Dalam perjalanan pulang…

Koordinator rombongan, Ahmad Al Ghanimi, berbagi banyak cerita untuk kami yang duduk manis mendengarkan di dalam mobil.

Cerita pilihan versi Ana dari Ahmad Al Ghanimi adalah cerita singkat tentang nilai-nilai interaksi yang diajarkan oleh Islam.Hidup di dunia ini tidak akan terlepas dari proses Mu'amalah, bukan?

Al Cerita :

Seorang pria datang menemui dokter untuk berkonsultasi. Kebetulan, dokter yang dipilih oleh pria tersebut adalah seorang dokter agamis. Sedikit banyak Al Qur'an dan As Sunnah pernah ia pelajari. Tidak salah pilih pria tersebut!

"Dok, tolong buatkan resep untuk istri saya. Dia mengalami gangguan pendengaran", pinta pria itu setelah mengeluhkan istrinya yang sulit diajak berkomunikasi.

Sang dokter sebelum memenuhi permintaan itu, malah menganjurkan si pria untuk melakukan trik-trik berikut ini.

Kata sang dokter," Begini, Saudaraku…Coba Anda mengambil jarak empat puluh langkah dari istri Anda, setelah itu mintalah istri Anda untuk melakukan sesuatu. Jika tidak ada reaksi, mendekatlah sepuluh langkah darinya dan ulangi lagi permintaan Anda. Jika masih belum juga ada reaksi, teruslah mendekat sepuluh langkah lagi dan seterusnya, lalu ucapkan permintaan Anda. Kira-kira bagaimana hasilnya?"

Pria itu menurut saja anjuran dari sang dokter.

Di rumah…

Kira-kira empat puluh langkah pria itu mengambil jarak dari istrinya,ia mengucapkan," Wahai istriku sayang, tolong siapkan makan malam untukku". Pria itu lalu menyebutkan beberapa menu tertentu.

Tidak ada reaksi dari istrinya.

Pria itu mendekat lagi sebanyak sepuluh langkah. Permintaan makan malam kembali diucapkan, namun tetap saja tidak ada reaksi dari istrinya.

Kembali sepuluh langkah ia mendekat, tetap juga tidak ada reaksi. Sampai akhirnya, pria itu berdiri tepat di belakang istrinya dan mengatakan permintaan makan malam.

Kira-kira, apa yang terjadi kemudian?

Kata istrinya," Wahai suamiku, sejak permintaanmu pertama tadi, aku sudah mengiyakan dan menyatakan siap!"

Loh…ternyata???? Ternyata pria itulah yang mengalami gangguan

pendengaran. Hmm….

Ahmad Al Ghanimi, koordinator perjalanan kami menyimpulkan,"Mumkin, qad khalalu min 'indik laa min 'indi ghairik!"

Kurang lebih artinya demikian," Barangkali, kekurangan itumalah ada pada dirimu,bukan pada orang lain!"

Cerita ini Ana tetapkan sebagai cerita pilihan dari sekian banyak cerita yang disampaikan Ahmad Al Ghanimi sore tadi. Ana lalu merenung, ternyata faktanya memang demikian. Bukankah terkadang (di dalam proses komunikasi) kita menilai orang lain yang salah? Padahal sesungguhnya diri kita-lah yang salah. Bukankah terkadang kita menuduh orang lain tidak bisa mengerti tentang kita? Padahal sebenarnya, kita-lah yang kurang bisa memahami maksudnya.

Cobalah memulai di dalam keluarga kita! Sudah marah-marah kepada anak karena menangis tidak juga berhenti.Kita sudah menyalahkannya. Kita sudah membentaknya. Bahkan mungkin kita sudah memukul anak tersebut. Ternyata anak tersebut memohon melalui tangisannya,"Abi…gendonglah aku! Abi…aku rindu padamu!Abi…aku ingin merasakan tenang dalam dekapanmu!...Abiiii…….".

Hanya saja anak membahasakan permintaannya dengan tangisan. Jika memang demikian arti tangisan anak, pasti ia akan semakin bersedih ketika si ayah kita malah mensikapinya dengan bentakan, amarah bahkan pukulan??? Ingin dipeluk, digendong dan disayang kok malah???

Demikianlah seharusnya sikap kita kepada istri,orangtua,sahabat,tetangga dan orang lain di dalam berinteraksi dan menjalin komunikasi. Apalagi sesama Salafiyyin,bukan? Jangan-jangan…jangan-jangan…selama ini…Hmmm.Astaghfirullah al adziim

Jum'at malam,selepas Isya',08 Dzulqa'dah,13 Sept 2013.

Akhukum : Abu Nasiim Mukhtar "iben" Rifai La Firlaz_republic of yemen_See More
via Al Akh Pandhu Garjito

sumber :

Jumat, 02 Agustus 2013

BERGAUL DENGAN ISTRI



Salah satu kewajiban suami kepada istrinya adalah bergaul dengan ma'ruf. Yang dimaksud di sini adalah bergaul dengan baik, tidak menyakiti, tidak menangguhkan hak istri padahal mampu, serta menampakkan wajah manis dan ceria di hadapan istri.
Allah Ta’ala berfirman,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan bergaullah dengan mereka dengan baik.” (QS. An Nisa’: 19).
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (QS. Al Baqarah: 228).
Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى
Sebaik-baik kalian adalah yan berbuat baik kepada keluarganya. Sedangkan aku adalah orang yang  paling berbuat baik pada keluargaku” (HR. Tirmidzi no. 3895, Ibnu Majah no. 1977, Ad Darimi 2: 212, Ibnu Hibban 9: 484. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata mengenai surat An Nisa’ ayat 19 di atas, “Berkatalah yang baik kepada istri kalian, perbaguslah amalan dan tingkah laku kalian kepada istri. Berbuat baiklah sebagai engkau suka jika istri kalian bertingkah laku demikian.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3: 400)
Berbuat ma’ruf adalah kalimat yang sifatnya umum, tercakup di dalamnya seluruh hak istri. 

Dari artikel Muslim.Or.Id'

MEMBERI NAFKAH ISTRI


Yang dimaksud nafkah adalah harta yang dikeluarkan oleh suami untuk istri dan anak-anaknya berupa makanan, pakaian, tempat tinggal dan hal lainnya. Nafkah seperti ini adalah kewajiban suami berdasarkan dalil Al Qur’an, hadits, ijma’ dan logika.
Dalil Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Tholaq: 7).
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma’ruf” (QS. Al Baqarah: 233).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bapak dari si anak punya kewajiban dengan cara yang ma’ruf (baik) memberi nafkah pada ibu si anak, termasuk pula dalam hal pakaian. Yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah dengan memperhatikan kebiasaan masyarakatnya tanpa bersikap berlebih-lebihan dan tidak pula pelit. Hendaklah ia memberi nafkah sesuai kemampuannya dan yang mudah untuknya, serta bersikap pertengahan dan hemat” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 375).
Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika haji wada’,
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Bertakwalah kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para wanita, karena kalian sesungguhnya telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti. Kewajiban kalian bagi istri kalian adalah memberi mereka nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf” (HR. Muslim no. 1218).
Dari Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kewajiban suami pada istri, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ – أَوِ اكْتَسَبْتَ – وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-, dan engkau tidak memukul istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya serta tidak memboikotnya (dalam rangka nasehat) selain di rumah” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Dia tidak memberi untukku dan anak-anakku nafkah yang mencukupi kecuali jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).

Lalu berapa besar nafkah yang menjadi kewajiban suami?
Disebutkan dalam ayat,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (QS. Ath Tholaq: 7).
عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ
Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula)” (QS. Al Baqarah: 236).
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hindun,
خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa yang jadi patokan dalam hal nafkah:
  1. Mencukupi istri dan anak dengan baik, ini berbeda tergantung keadaan, tempat dan zaman.
  2. Dilihat dari kemampuan suami, apakah ia termasuk orang yang dilapangkan dalam rizki ataukah tidak.
Termasuk dalam hal nafkah adalah untuk urusan pakaian dan tempat tinggal bagi istri. Patokannya adalah dua hal yang disebutkan di atas.
Mencari nafkah bagi suami adalah suatu kewajiban dan jalan meraih pahala. Oleh karena itu, bersungguh-sungguhlah menunaikan tugas yang mulia ini.

Dari artikel Muslim.Or.Id

Sabtu, 20 Juli 2013

Shalat Sunnah Rawatib


Shalat sunnah rawatib adalah shalat sunnah yang berada sebelum dan setelah shalat wajib. Ada tiga hadits yang menjelaskan jumlah shalat sunnah rawatib beserta letak-letaknya:
1. Dari Ummu Habibah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّي لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلَّا بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ
“Tidaklah seorang muslim mendirikan shalat sunnah ikhlas karena Allah sebanyak dua belas rakaat selain shalat fardhu, melainkan Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga.” (HR. Muslim no. 728)
Dan dalam riwayat At-Tirmizi dan An-Nasai, ditafsirkan ke-12 rakaat tersebut. Beliau bersabda:
مَنْ ثَابَرَ عَلَى ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنْ السُّنَّةِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ
“Barangsiapa menjaga dalam mengerjakan shalat sunnah dua belas rakaat, maka Allah akan membangunkan rumah untuknya di surga, yaitu empat rakaat sebelum zhuhur, dua rakaat setelah zhuhur, dua rakaat setelah maghrib, dua rakaat setelah isya` dan dua rakaat sebelum subuh.” (HR. At-Tirmizi no. 379 dan An-Nasai no. 1772 dari Aisyah)
2. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliallahu ‘anhu dia berkata:
حَفِظْتُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الصُّبْحِ
“Aku menghafal sesuatu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa shalat sunnat sepuluh raka’at yaitu; dua raka’at sebelum shalat zuhur, dua raka’at sesudahnya, dua raka’at sesudah shalat maghrib di rumah beliau, dua raka’at sesudah shalat isya’ di rumah beliau, dan dua raka’at sebelum shalat subuh.” (HR. Al-Bukhari no. 937, 1165, 1173, 1180 dan Muslim no. 729)
Dalam sebuah riwayat keduanya, “Dua rakaat setelah jumat.”
Dalam riwayat Muslim, “Adapun pada shalat maghrib, isya, dan jum’at, maka Nabi r mengerjakan shalat sunnahnya di rumah.”
3. Dari Ibnu Umar dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعًا
“Semoga Allah merahmati seseorang yang mengerjakan shalat (sunnah) empat raka’at sebelum Ashar.” (HR. Abu Daud no. 1271 dan At-Tirmizi no. 430)
Maka dari sini kita bisa mengetahui bahwa shalat sunnah rawatib adalah:
a. 2 rakaat sebelum subuh, dan sunnahnya dikerjakan di rumah.
b. 2 rakaat sebelum zuhur, dan bisa juga 4 rakaat.
c. 2 rakaat setelah zuhur
d. 4 rakaat sebelum ashar
e. 2 rakaat setelah jumat.
f. 2 rakaat setelah maghrib, dan sunnahnya dikerjakan di rumah.
g. 2 rakaat setelah isya, dan sunnahnya dikerjakan di rumah.
Lalu apa hukum shalat sunnah setelah subuh, sebelum jumat, setelah ashar, sebelum maghrib, dan sebelum isya?
Jawab:
Adapun dua rakaat sebelum maghrib dan sebelum isya, maka dia tetap disunnahkan dengan dalil umum:
Dari Abdullah bin Mughaffal Al Muzani dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ قَالَهَا ثَلَاثًا قَالَ فِي الثَّالِثَةِ لِمَنْ شَاءَ
“Di antara setiap dua adzan (azan dan iqamah) itu ada shalat (sunnah).” Beliau mengulanginya hingga tiga kali. Dan pada kali yang ketiga beliau bersabda, “Bagi siapa saja yang mau mengerjakannya.” (HR. Al-Bukhari no. 588 dan Muslim no. 1384)
Adapun setelah subuh dan ashar, maka tidak ada shalat sunnah rawatib saat itu. Bahkan terlarang untuk shalat sunnah mutlak pada waktu itu, karena kedua waktu itu termasuk dari lima waktu terlarang.
Dari Ibnu ‘Abbas dia berkata:
شَهِدَ عِنْدِي رِجَالٌ مَرْضِيُّونَ وَأَرْضَاهُمْ عِنْدِي عُمَرُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَشْرُقَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ
“Orang-orang yang diridlai mempersaksikan kepadaku dan di antara mereka yang paling aku ridhai adalah ‘Umar, (mereka semua mengatakan) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang shalat setelah Shubuh hingga matahari terbit, dan setelah ‘Ashar sampai matahari terbenam.” (HR. Al-Bukhari no. 547 dan Muslim no. 1367)
Adapun shalat sunnah sebelum jumat, maka pendapat yang rajih adalah tidak disunnahkan. 
Wallahu Ta’ala a’lam.

BEKAM SAAT PUASA


A
Apakah Bekam Itu?
Bekam (hijamah) berasal dari kata hajama yang berarti menyedot maksudnya menyedot sejumlah darah dari tempat tertentu dengan tujuan mengobati penyakit tertentu. Atau diartikan sebagai menghentikan penyakit agar tidak berkembang.

Keutamaan Bekam
Berdasarkan beberapa keterangan sunnah bahwa: Kesembuhan itu ada dalam tiga hal, yaitu dengan cara minum madu, berbekam dan kay (berobat dengan besi panas), namun aku melarang umatku melakukan kay. Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa sebaik - baik pengobatan yang kalian lakukan adalah berbekam. Bahkan Rasulullah SAW. diberi tahu malaikat jibril, bahwa bekam adalah pengobatan yang paling bermanfaat bagi manusia (lihat al-Bukhari dalam Shahîh al-Jâmi')

Mengapa harus berbekam?
Di dalam darah terdapat sel-sel darah merah yang telah tua, lemah, endapan-endapan darah, serta berbagai unsur-unsur negatif yang sampai kedalam darah melalui berbagai cara, termasuk pengaruh obat-obatan dan polusi kimiawi, asap kendaraan bermotor, makanan dengan dzat pewarna, pemanis buatan, MSG dan lain-lain. Semua itu merupakan sumber penyakit, maka dengan menyedotnya dari tubuh melalui -bekam- kita terbebas dari ampas-ampas negatif yang merusak tubuh, sehingga akan tercapai kesembuhan, kesehatan, vitalitas dan kekebalan tubuh yang semakin meningkat. Artinya imunitas seseorang bertambah.
Betapa utamanya berbekam, hal ini terbukti dengan hasil kajian laboratorium ternyata darah yang di keluarkan hanyalah sel darah merah yang telah berusia tua dan abnormal, sedangkan darah yang segar tidak bisa keluar. Berarti bekam hanya menyaring dan mengeluarkan darah kotor dan dapat menjaga sel-sel darah yang alami (natural) dan membersihkan sel-sel yang abnormal. Bahkan bisa menambahkan interferon pada tubuh, di mana ia merupakan zat protein yang di produksi sel-sel darah putih yang memiliki reaksi kuat terhadap virus-virus yang menyerang tubuh. Bertambahnya interferon, berarti bertambahnya kekebalan tubuh terhadap penyakit dan infeksi. Ketika seseorang di bekam, maka kemampuan darah putih untuk memproduksi interferon bertambah sepuluh kali lipat.

Bekam Preventif
Berbekam sebaiknya tidak hanya dilakukan ketika kita sedang sakit saja, melainkan dianjurkan untuk berbekam sebagai pencegah datangnya penyakit. Menurut Kawa Kurwawa (dokter dari jepang), bahwa darah kita selalu berputar (setelah melewati 120 hari), jika lebih maka darah akan menjadi tua atau lemah, lengket, beku, pekat, sehingga ia akan mengendap dan berkumpul di tempat-tempat tertentu (di punggung, pundak, dua urat leher dan bagian-bagian tubuh lainnya), endapan-endapan inilah merupakan faktor penyebab berbagai penyakit. 

Rahasia Berbekam Ketika Shaum
Rasulullah SAW. mengajarkan berbekam ketika shaum, karena berbekam ketika shaum khasiat menjadi dua kali lipat. Shaum mampu mengangkat racun, melebarkan pembuluh darah, menguatkan jantung, ginjal, paru-paru dan limfa. Mekanisme shaum yang luar biasa manfaatnya bagi tubuh akan menjadi berkesan jika di sinergikan dengan berbekam, di mana ketika sel-sel yang sudah tidak di perlukan tubuh dan melebarnya pembuluh darah terangkat karena shaum, menyebabkan kondisi sirkulasi darah menjadi baik. Ini menyebabkan proses bekam akan cepat direspon tubuh, sehingga peningkatan imunitas tubuh pun akan lebih cepat dicapai dalam kondisi shaum.

Banyak riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah SAW. dan para shahabatnya sudah biasa merutinkan berbekam ketika shaum, sebagaimana kesaksian Ummul Mu'minin 'Aisyah ra. dan Anas Maula Rasulullah ketika di tanya oleh Tsabit al-Banni.

Di antara shahabat yang sangat istiqamah dalam mengamalkan bekam ketika shaum adalah Ibnu Umar ra. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Ibnu Umar biasa berbekam dalam keadaan berpuasa sampai ia semakin tua dan fisiknya menjadi lemah. Ketika shaum, ia pun mengganti berbekam di siang hari menjadi malam harinya.
Dengan demikian, di samping berbekam ketika shaum banyak shahabat mencontohkannya, juga dapat memelihara vitalitas tubuh secara holistik. 

sumber : dewan dakwah

Kerja Dalam Islam


K
ewajiban Bekerja
Budaya hedonis yang terjadi pada kaum muslimin telah menemui titik nadir, di mana banyak kaum muslimin yang hidupnya berorientasi hanya kenikmatan dunia,  ia mengandalkan hidup bukan dari hasil  kerja keras. Tetapi bagaimana tanpa peluh, kerja keras, dan usaha  bisa dapat uang banyak.Ini yang keliru, padahal Islam jelas meminta ummatnya untuk bekerja keras. Apresiasi Islam terhadap kerja dan karya juga dapat ditangkap dari anjuran Rasulullah saw untuk beramal meskipun pada saat saat terakhir kehidupan seseorang  atau bahkan sesaat sebelum berakhirnya kehidupan di dunia yang fana ini, sebagaimana mana sabdanya tadi.


‘Anas bin Malik berkata, Rasulullah SAW. bersabda: "Jika tiba hari kiamat sedang pada tangan dari kalian ada bibit pohon kurma maka tanamlah".(Musnad Ahmad, Bab Musnad Anas bin Malik ra. no. 12435)
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam Q.S. At-Taubah/9: 105:
Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan".
Amal shalih adalah seluruh aktivitas hidup manusia yang dilandasi  niat karena Allah (ikhlash) dalam rangka mencapai keridhaan-Nya yang dilaksanakan sesuai dengan aturan-aturan Allah. Maka  Sikap penyerahan diri tanpa berusaha dan bekerja inilah sikap fatalisme, Mahmoud Hamdi Zaqzouq dalam bukunya Haqa’iq Islamiyyah fi Muwajahat at Tasykik  menyatakan; “ Sikap Fatalisme adalah bentuk sikap mental yang lahir dari pengabaian atas hukum sebab akibat (kausalitas) dan keengganan berusaha dan bekerja sambil berangan-angan Allah akan melakukan apa yang dikehendaki-Nya”.
Jelas Islam menolak sikap ini. Kehidupan manusia  yang  diyakini mampu, membuat  al-Quran banyak menjelaskan bahwa Islam adalah agama “kerja” yang mendorong ummatnya untuk bekerja. Bekerja adalah keniscayaan hidup bahkan termasuk ibadah. Tanpa bekerja, kehidupan akan berhenti. Ketika telah selesai suatu pekerjaan maka teruslah beralih ke pekerjaan berikutnya   (Q.S. Al-Insyirah/94: 7-8).
S. Waqar Ahmed H. (ahli sosiologi hukum Islam Mesir) berpendapat “istilah dalam al-Quran, mencari nafkah (kasab), balas jasa (jaza’) dan gaji atau imbalan (ajr), dapat disimpulkan bahwa kerja seseorang, baik kerja kasar maupun intelektual, adalah cara yang utama untuk memperoleh pendapatan – dan manusia tidak akan mendapatkan sesuatupun juga kecuali yang diusahakannya (Q.S. An-Najm/53: 39). Manusia disuruh ‘mencari karunia Tuhanmu’ bahkan sewaktu menunaikan ibadah haji dan pada hari Jumat tetapi dengan batasan larangan bekerja ketika shalat. Juga etika jerih payah individu ini melarang segala macam mengemis”. (Sistem Pembinaan Masyarakat Islam: 1983).
Begitupun sikap Rasulullah saw ketika ditawari oleh kaum Anshar untuk membagi kebun kurma mereka kepada para shahabat Muhajirin, beliau menjawab ‘tidak perlu’ cukuplah kalian memberikan bahan makanan pokok saja, dan kami bisa bergabung dengan kalian dalam memanen buahnya. (Shafiyyurrahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, hal. 250).  Beliau juga menumbuhkan hidup kerja keras/berusaha kepada para shahabat, sehingga para shahabat terbiasa bekerja, ini tampak ketika kaum muslimin diperintahkan hijrah ke Madinah:
Al-Bukhari meriwayatkan, ketika Muhajirin tiba di Madinah, maka Rasulullah saw mempersaudarakan antara Abdurrahman bin ‘Auf dengan Sa’d bin ar Rabi’.  Sa’d berkata kepada Abdurrahman,” Sesungguhnya aku adalah orang yang paling banyak hartanya di kalangan  Anshar. Ambillah separuh hartaku itu menjadi dua. Aku juga mempunyai dua istri. Maka lihatlah mana yang engkau pilih, agar aku bisa menceraikannya. Jika masa iddahnya sudah habis maka nikahilah ia”.
Abdurrahman berkata,” Semoga Allah memberkahimu dalam keluarga dan hartamu. Lebih baik tunjukkan saja mana pasar kalian?
Maka orang-orang menunjukkan pasar Bani Qainuqa’. Tidak lama Abdurrahman  berdagang. Suatu hari dia datang dan agak pucat.
Rasulullah bertanya; bagaimana keadaanmu?. “aku sudah menikah” jawabnya. Berapa banyak mas kawin yang engkau serahkan kepada istrimu? Dia menjawab: beberapa keping emas.( Shahih Bukhary, Bab Ikha’un Nabiy Baina alMuhajirin wal Anshar, 1/553).
Sikap Abdurrahman bin Auf yang tidak mau menerima begitu saja pemberian dari Sa’d bin ar-Rabi’ menunjukkan akan keharusan bagi seorang muslim ketika masih mempunyai kekuatan akal dan fisik, maka haruslah bekerja/berusaha  tidak layak  mengandalkan dari pemberian orang lain apalagi mengemis.
Keutamaan Bekerja Keras
Perintah Allah ‘Azza wa Jalla  agar hambanya bekerja, menjadikan hamba tersebut mulia baik di hadapan manusia bahkan dihadapan Allah. Keberuntungan akan diraih oleh hamba yang bekerja keras, begitu pula keberkahan dan kebahagiaan. Walaupun secara kasat mata menghasilkan nafkah sedikit tetapi yang dipandang Allah adalah sejauh mana hamba itu bekerja.
Firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam Q.S. Al-Jum’ah/62: 10:
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.
Kakeknya Rafi' bin Khadij dia berkata, "Dikatakan (oleh seseorang), "Wahai Rasulullah, mata pencaharian apakah yang paling baik?". Beliau menjawab: "Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang baik."( Musnad Ahmad, no.16628)

Nashihat terakhir bagi hamba yang rajin bekerja akan diberikannya jaminan dari Allah dengan kemudahan mendapatkan rezeki, tanpa ragu-ragu kita harus meyakini ini. Sebagaimana perkataan Umar ibn al Khattab; aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda: "Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebaik baiknya, niscaya kalian akan diberi rezeki, sebagaimana seekor burung diberi rezeki, tidakkah kalian melihat bahwa dia terbang di pagi hari dalam keadaan perut kosong dan kembali dalam keadaan kenyang." (Tirmizi, Bab fi Tawakkal ‘ala Allah, no.2266)

Adapun bentuk tawakkal, adalah berupa gerak dan usaha seorang hamba ketika bekerja dalam menggapai tujuan-tujuannya.
sumber : dewan dakwah

<script id="ilc_connect" src="http://www.linkcollider.com/js/lc_connect.min.js#ref=56024#widget=autosurf"></script>

Sabtu, 13 Juli 2013

HUKUM TADARUS AL QURAN BERSAMA-SAMA

HUKUM MEMBACA AL-QUR'AN BERSAMA-SAMA


Oleh
Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz

Membaca Al-Qur'an merupakan ibadah dan merupakan salah satu sarana yang paling utama untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Pada dasarnya membaca Al-Qur'an haruslah dengan tatacara sebagaimana Rasullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mencontohkannya bersama para shahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak ada satupun riwayat dari beliau dan para shabatnya bahwa mereka membacanya dengan cara bersama-sama dengan satu suara. Akan tetapi mereka membacanya sendiri-sendiri atau salah seorang membaca dan orang lain yang hadir mendengarkannya.

Telah diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunahku dan sunnah para Al-Khulafa'ur Rasyidun setelahku" [1]

Sabda beliau lainnya.

"Artinya : Barangsiapa mengada-adakan dalam perkara kami ini (perkara agama) yang tidak berasal darinya, maka dia itu tertolak" [2]

Dalam riwayat lain disebutkan.

"Artinya : Barangsiapa melaksanakan suatu amalan yang tidak ada perintah kami maka amalan tersebut tertolak" [3]

Diriwayatkan pula dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan kepada Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu untuk membacakan kepadanya Al-Qur'an. Ia berkata kepada beliau. "Wahai Rasulullah, apakah aku akan membacakan Al-Qur'an di hadapanmu sedangkan Al-Qur'an ini diturunkan kepadamu?" Beliau menjawab : "Saya senang mendengarkannya dari orang lain" [4]

BERKUMPUL DI MASJID ATAU DI RUMAH UNTUK MEMBACA AL-QUR'AN BERSAMA-SAMA.

Jika yang dimaksud adalah bahwasanya mereka membacanya dengan satu suara dengan 'waqaf' dan berhenti yang sama, maka ini tidak disyariatkan. Paling tidak hukumnya makruh, karena tidak ada riwayat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maupun para shahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun apabila bertujuan untuk kegiatan belajar dan mengajar, maka saya berharap hal tersebut tidak apa-apa.

Adapun apabila yang dimaksudkan adalah mereka berkumpul untuk membaca Al-Qur'an dengan tujuan untuk menghafalnya, atau mempelajarinya, dan salah seorang membaca dan yang lainnya mendengarkannya, atau mereka masing-masing membaca sendiri-sendiri dengan tidak menyamai suara orang lain, maka ini disyari'atkan, berdasarkan riwayat dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda.

"Artinya : Apabila suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid) sambil membaca Al-Qur'an dan saling bertadarus bersama-sama, niscaya akan turun ketenangan atas mereka, rahmat Allah akan meliputi mereka, para malaikat akan melindungi mereka dan Allah menyebut mereka kepada makhluk-makhluk yang ada di sisi-Nya" [Hadits Riwayat Muslim] [5]

MEMBAGI BACAAN AL-QUR'AN UNTUK ORANG-ORANG YANG HADIR

Membagi juz-juz Al-Qur'an untuk orang-orang yang hadir dalam perkumpulan, agar masing-masing membacanya sendiri-sendiri satu hizb atau beberapa hizb dari Al-Qur'an, tidaklah dianggap secara otomatis sebagai mengkhatamkan Al-Qur'an bagi masing-masing yang membacanya. Adapun tujuan mereka dalam membaca Al-Qur'an untuk mendapatkan berkahnya saja, tidaklah cukup. Sebab Al-Qur'an itu dibaca hendaknya dengan tujuan ibadah mendekatkan diri kepada Allah dan untuk menghafalnya, memikirkan dan mempelajari hukum-hukumnya, mengambil pelajaran darinya, untuk mendapatkan pahala dari membacanya, melatih lisan dalam membacanya dan berbagai macam faedah-faedah lainnya [Lihat Fatwa Lajnah Da'imah no. 3861]


[Disalin dari kitab Bida’u An-Naasi Fii Al-Qur’an, Edisi Indonesia Penyimpangan Terhadap Al-Qur’an Penulis Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerjemah Ahmad Amin Sjihab, Penerbit Darul Haq]
__________
Foote Notes
[1]. Diriwayatkan oleh Abu Daud no 407 dalam kitab Sunnah, bab Fii Luzuumis Sunnah ; Ibnu Majah no 42 dalam Al-Muqaddimah, bab Ittiba'ul Khulafa'ir Rasyidinal Mahdiyyin, dari hadits Al-Irbadh Radhiyallahu anhu. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2676 dalam Al-Ilmu bab 'Maa Jaa'al Fil Akhdzi bis Sunnati Wajtinabil Bida', ia mengatakan : 'Hadits ini hasan shahih. Al-Arna'uth berkata : 'Sanadnya hasan. Lihat Syarhus Sunnah, 1/205 hadits no.102.
[2]. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no, 2697 dalam Al-Shulh bab 'Idza Isththalahu 'ala Shulhin Juur Fash Shulh Mardud' dan Muslim no 1718 dalam kitab Al-Uqdhiyah bab 'Naqdhul Ahkamil Bathilan wa Raddu Muhdatsatil Umur' dari hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha
[3]. Diriwayatkan oleh Muslim no. 1718 jilid 18, dalam kitab Al-Uqdhiyah bab Maqdhul Ahkamil Bathilan wa Raddu Muhdatsatil Umu' dari hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha
[4]. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5050, dalam Fadhailul Qur'an, bab 'Barangsiapa mendengarkan Al-Qur'an dari orang selainnya' dari hadits Abdullah bin Mas'ud, ia berkata, 'Rasulullah berkata kepada saya, bacakan Al-Qur'an untukku. Saya berkata, Wahai Rasulullah, apakah saya akan membacakannya sedangkan Al-Qur'an ini diturunkan kepadamu.? Beliau menjawab, 'Ya' Maka sayapun membacakan surat An-Nisa hingga pada ayat : "Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)". [An-Nisa : 41]. Beliau berkata, "Cukup". Saya menoleh kepada beliau, ternyata kedua matanya sedang berlinang air mata." [Lihat Fatwa Lajnah Da'imah no. 4394]
[5]. Bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Muslim no. 2699 dalam kitab Dzikir dan Do'a, bab 'Fadhlul Ijtima 'Ala Tilawatil Qur'an wa 'Aladz Dzikir dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.[Lihat juga Fatawa Lajnah Da'imah no. 3302]


sumber : http://almanhaj.or.id/content/1958/slash/0/hukum-membaca-al-quran-bersama-sama-membagi-bacaan-al-quran-untuk-orang-orang-yang-hadir/

Selasa, 14 Mei 2013

PROPORSIONAL ITU INDAH

Studi ringkas tentang keseimbangan ajaran Islam tentang kuburan

Oleh: Abdullah Zaen, Lc., MA



Ilustrasi

Pernahkah istri Anda membuat masakan yang keasinan? Bagaimana rasanya? Tentu saja tidak enak! Di lain kesempatan, barangkali istri Anda juga pernah lupa tidak membubuhkan garam di masakannya. Bagaimana rasanya? Jelas saja hambar, dan makan menjadi kurang nikmat. Begitulah sesuatu yang tidak pas dan proporsional, akan tidak enak dirasa, juga tidak indah dipandang.

‘Kaidah’ tersebut bukan hanya berlaku dalam urusan duniawi belaka. Dalam hal-hal yang bersifat ukhrawi (baca: ibadah) pun ‘kaidah’ ini juga berlaku. Hanya saja dalam hal-hal yang berbau agama, barometernya jauh lebih jelas dan akurat. Berbeda dengan urusan duniawi, yang subjektifitas penilai seringkali lebih berperan. Contoh mudahnya, masakan yang menurut saya tingkat keasinannya sudah pas, belum tentu menurut Anda juga demikian. Relatif!

Proporsionalitas ajaran Islam

Tawâzun atau tanâsub (keseimbangan), begitu kira-kira kata lain proporsional dalam bahasa Arab. Salah satu keistimewaan ajaran Islam, ia memiliki karakter yang seimbang dalam segala sesuatunya. Karenanya terlihat begitu indah. Dalam menyikapi dua alam; dunia dan akhirat, misalnya. Islam membolehkan manusia untuk menikmati keindahan duniawi, selama dalam koridor yang diizinkan agama. Namun Islam juga memotivasi manusia untuk mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya demi menghadapi kehidupan abadi di negeri akhirat kelak. Amat proporsional bukan? Jadi Islam bukanlah agama yang mengharamkan kenikmatan duniawi, tidak pula mengusung ideologi yang melupakan negeri keabadian.

Masih banyak contoh lain yang menggambarkan keseimbangan ajaran Islam. Yang manakala ajaran tersebut tidak dipraktekkan dengan baik, maka pasti akan muncul ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan seorang insan.

Ukuran proporsionalitas amalan

Saat kita berbicara tentang suatu amalan, apakah ia benar atau salah, atau apakah ia proporsional atau tidak, bisa jadi ada sebagian kalangan yang menyeletuk, “Benar menurut siapa? Proporsional menurut siapa? Menurut saya atau anda? Menurut ulama kami atau ulama kalian? Menurut kami amalan ini sudah benar dan proporsional. Toh jika menurut kalian salah dan ekstrim, itu adalah pendapat kalian. Kebenaran kan relatif?”. Begitu komentar mereka.

Anda tidak perlu merasa bingung menghadapi pertanyaan seperti ini. Sebab kita memiliki barometer yang jelas dan gamblang untuk mengukur hal tersebut. Amalan atau ideologi apapun yang dilandasi dalil sahih, maka itulah yang benar. Sikap apapun yang bersumber dari al-Qur’an atau hadits sahih, serta didukung dengan pemahaman para sahabat Nabi shallallahu’alaihi wasallam, itulah sikap yang proporsional.

Dari sini kita mengetahui kekeliruan celetukan sebagian orang, saat mengomentari temannya yang rajin shalat lima waktu berjamaah di masjid tepat pada waktunya. Ditambah sangat berhati-hati dalam bergaul dengan lawan jenis, “Kamu itu jangan alim-alim amat kenapa! Ekstrim banget sih! Cobalah kamu lebih moderat dikit!”.

Dia menilai shalat tepat waktu dan menjaga jarak dengan lawan jenis sebagai perilaku ekstrim. Padahal itu bagian dari ajaran agama. Sehingga tidaklah mungkin dikategorikan perilaku ekstrim. Sebab ajaran Islam, manakala diterapkan dengan benar, itulah inti dari sikap proporsional. Tidak ada aturan yang lebih proporsional dibanding aturan Allah ta’ala.

Proporsionalitas Islam dalam menyikapi kuburan

Agama Islam sangat kental dengan keseimbangan dan sikap tengah dalam setiap bagian ajarannya. Termasuk dalam perihal kuburan.

Terkait dengan masalah kuburan, sikap proporsional tersebut terbangun di atas dua pertimbangan:

Pertama: maslahat menjaga kehormatan orang yang telah meninggal.

Kedua: maslahat menjaga kemurnian akidah orang yang masih hidup.[1]

Upaya menjaga kehormatan orang yang telah meninggal, harus dengan sesuatu yang tidak sampai mengorbankan akidahnya orang yang masih hidup.

Sebaliknya, usaha untuk menjaga akidah orang yang masih hidup, bukan dengan sesuatu yang menodai kehormatan orang yang telah meninggal.

Dengan sikap proporsional seperti ini, maka tidak ada pihak yang dirugikan.

Berikut beberapa contoh ajaran Islam yang berdimensi penghormatan terhadap kuburan, juga orang yang telah meninggal dunia:

1. Islam mengharamkan membuang hajat di atas kuburan.

Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,

“لأَنْ أَمْشِيَ عَلَى جَمْرَةٍ أَوْ سَيْفٍ أَوْ أَخْصِفَ نَعْلِي بِرِجْلِي؛ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَمْشِيَ عَلَى قَبْرِ مُسْلِمٍ. وَمَا أُبَالِي أَوَسْطَ الْقُبُورِ قَضَيْتُ حَاجَتِي أَوْ وَسْطَ السُّوقِ!”.

“Lebih baik aku berjalan di atas bara api atau pedang, atau aku menjahit sandalku menggunakan kakiku; daripada aku harus berjalan di atas kuburan seorang muslim. Aku tidak peduli antara buang hajat di tengah pekuburan atau di tengah pasar (keduanya sama-sama buruk)”. HR. Ibn Majah (II/154 no. 1589) dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu. Al-Mundziry menilai sanad hadits ini jayyid (baik)[2]. Syaikh al-Albany menyatakan hadits ini sahih[3].

2. Islam melarang berjalan di atas kuburan.

Dalilnya antara lain adalah hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu tersebut di atas.

3. Islam melarang duduk di atas kuburan

Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,

“لأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ؛ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ”.

“Lebih baik salah seorang dari kalian duduk di atas bara api hingga membakar baju dan kulitnya; daripada duduk di atas kuburan”. HR. Muslim (VII/41 no. 245) dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.

4. Islam melarang mengenakan sandal di pekuburan

Basyir radhiyallahu’anhu; hamba sahaya Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bercerita bahwa suatu saat beliau melihat seseorang berjalan di pekuburan sambil mengenakan sandal. Maka beliaupun bersabda,

“يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ وَيْحَكَ! أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ!”.

“Wahai si pemakai sandal, celaka engkau. Lepaskan kedua sandalmu!”. HR. Abu Dawud (III/360 no. 3230) dan isnadnya dinyatakan sahih oleh al-Hakim[4] dan al-Albany[5].

5. Islam melarang mematahkan tulang mayit

Nabiyullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan,

“كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا”.

“Mematahkan tulang mayit mukmin seperti mematahkannya di saat ia masih hidup”. HR. Ahmad (41/58 no. 24739) dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha dan dinilai sahih oleh Ibn Hibban[6] serta al-Albany[7].

6. Islam membolehkan meletakkan tanda di atas kuburan

Hal itu dalam rangka menandai bahwa tempat tersebut adalah kuburan, sehingga mudah diketahui saat akan berziarah. Juga tidak dilangkahi atau diduduki.

Anas bin Malik radhiyallahu’anhu menuturkan,

“أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْلَمَ قَبْرَ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُوْنٍ بِصَخْرَةٍ”.

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menandai kuburan ‘Utsman bin Mazh’un dengan batu”. HR. Ibn Majah (II/152 no. 1583) dan isnadnya dinyatakan hasan oleh al-Bushiry[8] juga Ibn Hajar[9].

Inilah kadar tanda yang dibenarkan oleh agama kita. Adapun menandai kuburan dengan bangunan, apapun bentuknya, entah sekedar bangunan persegi panjang atau hingga kubah, maka hal itu terlarang. Sebagaimana akan dijelaskan kemudian. 

Jika dicermati dengan baik, berbagai aturan tersebut di atas, mengarah kepada penghormatan terhadap kuburan dan ahli kubur, namun tidak beraroma pengkultusan. Sehingga akidah umat tetap terjaga kemurniannya. Inilah salah satu keindahan ajaran Islam. Amat proporsional!

Adapun segala sikap yang menjurus kepada pengkultusan kuburan atau ahli kubur dan bisa menodai akidah umat, maka pintu tersebut ditutup rapat-rapat oleh agama kita. Walaupun berdalihkan penghormatan.

Misalnya:

1. Shalat menghadap kuburan.

Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mewanti-wanti,

“لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا“.

“Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan jangan pula shalat menghadapnya”. HR. Muslim (II/668 no. 972) dari Abu Martsad radhiyallahu’anhu.

Imam Nawawy (w. 676 H) menyimpulkan, “Hadits ini menegaskan terlarangnya shalat ke arah kuburan. Imam Syafi’i berkata, “Aku membenci tindak pengagungan makhluk hingga kuburannya dijadikan masjid. Khawatir mengakibatkan fitnah atas dia dan orang-orang sesudahnya”.[10]

Dalam hadits di atas Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menggandengkan antara dua etika. Etika pertama untuk menghormati ahli kubur, yakni dengan tidak menduduki kuburannya. Etika kedua untuk menjaga akidah orang yang masih hidup, yakni dengan tidak shalat menghadap kuburan. Ini menunjukkan bahwa tidak ada kontradiksi antara penghormatan terhadap ahli kubur dengan penjagaan terhadap akidah umat.

2. Membangun masjid di kuburan

Rasul shallallahu’alaihiwasallam menegaskan,

“قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ؛ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ”.

“Semoga Allah membinasakan kaum Yahudi. Mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid”. HR. Bukhari (I/531 no. 437) dan Muslim (I/376 no. 530) dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.

3. Mendirikan bangunan di atas kuburan

Di antara yang disunnahkan berkenaan dengan masalah kuburan adalah mening­gikannya satu jengkal saja dan tidak lebih dari itu. Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhu menceritakan bentuk makam Nabi shallalallahu’alaihiwasallam,

“وَرُفِعَ قَبْرُهُ مِنَ الْأَرْضِ نَحْواً مِنْ شِبْرٍ”. 

“Makam beliau shallallahu’alaihiwasallam ditinggikan dari tanah seukuran satu jengkal.” HR. Ibnu Hibban (XIV/602 no. 6635) dan isnadnya dinilai hasan oleh Syaikh al-Albany[11].

Bahkan, para ulama melarang untuk menambah tanah di atas kuburan dengan tanah yang berasal dari luar kuburan tersebut.

Imam Syafi’i (w. 204 H) berkata, “Aku lebih suka untuk tidak ditambahkan di atas kuburan tanah dari selainnya”[12].

Seandainya meninggikan kuburan lebih dari sejengkal dengan tanah lain saja dilarang, bagaimana jika didirikan bangunan di atasnya? Entah itu berupa nisan persegi panjang (biasanya dibuat setelah seribu hari dari kematian), kubah, joglo atau masjid!

Sebab itu semua menyelisihi hadits Nabi shallallahu’alaihiwasallam berikut:

“نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُبْنَى عَلَى الْقَبْرِ أَوْ يُزَادَ عَلَيْهِ”.

“Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam melarang untuk dibangun di atas kuburan atau ditambah di atasnya.” HR. An-Nasa`i (IV/391 no. 2026) dari Jabir radhiyallahu’anhu. Hadits ini dinilai sahih oleh Ibn Hibban[13], al-Hakim[14] dan al-Albany[15].

Membuat bangunan di atas kuburan merupakan salah satu faktor terbesar yang akan mengantarkan kepada pengkultusan kuburan tersebut. Yang ujung-ujungnya bermuara kepada kesyirikan. Karena itulah tidak heran jika para ulama mu’tabar dari kalangan empat mazhab Ahlus Sunnah satu kata dalam melarang hal tersebut.[16]

Dan masih banyak praktek-praktek lain terhadap kuburan yang dilarang di dalam Islam. Seperti membuat tulisan di atas kuburan, mewarnainya, meneranginya dengan lampu dan yang semisal. Yang semuanya itu pasti akan menimbulkan dampak negatif, besar atau kecil, terasa atau tidak, terutama terhadap akidah umat.

Sebab kita haqqul yaqin bahwa setiap yang dilarang agama, pasti akan membawa keburukan. Sebaliknya, setiap yang diperintah agama, pasti akan mendatangkan kemaslahatan.

Renungan

Alangkah menyedihkannya perilaku sebagian kalangan yang begitu bersemangat untuk menghiasi kuburan dengan bangunan, padahal itu jelas-jelas haram. Di kesempatan lain, saat mengantar jenazah ke pemakaman, dengan santai sambil ngobrol, mereka duduk-duduk di atas kuburan. Padahal ini juga terlarang. Jadi, larangan mana yang tidak mereka langgar? Terus maslahat apa yang sudah mereka realisasikan?

Kesimpulan

Dari studi ringkas di atas, insyaAllah kita bisa melihat betapa ajaran Islam mengenai kuburan sangatlah proporsional dan tidak timpang sudut pandangannya. Semua mendapat porsi perhatian yang memadai. Baik kepentingan ahli kubur, maupun kepentingan orang yang masih hidup. Kehormatan orang yang meninggal tetap dihargai. Akidah masyarakat pun tetap terjaga.

Jika aturan di atas tidak dijalankan, bisa dipastikan ada pihak yang dirugikan. Bisa jadi yang dirugikan adalah ahli kubur, karena kehormatannya dinodai. Atau lebih parah lagi, yang dirugikan adalah umat manusia, karena akidah mereka rusak. Ujung-ujungnya keindahan proporsionalitas ajaran Islam tentang kuburan, akan tampak buram, akibat ulah sebagian kaum muslimin sendiri.

Hanya kepada Allah sajalah kita mengadu…



@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 15 Jumadal Ula 1434 / 27 Maret 2013









[1] Baca: Al-Qubûriyyah, Nasy’atuhâ, Âtsâruhâ, Mauqif al-‘Ulamâ’ minhâ – al-Yaman Namûdzajan, karya Ahmad bin Hasan al-Mu’allim (hal. 63).

[2] Periksa: At-Targhîb wa at-Tarhîb (III/1286).

[3] Lihat: Irwâ’ al-Ghalîl (I/102 no. 63).

[4] Baca: Al-Mustadrak (I/709 no. 1421).

[5] Cermati: Irwâ’ al-Ghalîl (III/211 no. 760). Dalam beberapa kitab yang lain, beliau menyatakan hadits ini hasan.

[6] Lihat: Shahîh Ibn Hibbân (VII/437 no. 3167).

[7] Baca: Irwâ’ al-Ghalîl (III/213 no. 763).

[8] Sebagaimana dalam Mishbâh az-Zujâjah di hasyiyah Sunan Ibn Majah (II/152).

[9] Melalui jalan Abu Dawud. Periksa: At-Talkhîsh al-Habîr (III/1241 no. 964).

[10] Syarh Shahîh Muslim (VII/42).

[11] Lihat: Ahkâm al-Janâ’iz (hal. 195).

[12] Al-Umm (I/463).

[13] Shahih Ibn Hibban (VII/434 no. 3163).

[14] Al-Mustadrak (no. 1369).

[15] Lihat: Shahîh Sunan an-Nasâ’i (II/65 no. 2026).

[16] Sekedar contoh, untuk Ulama Mazhab Hanafi, silahkan baca: Badâ’i’ ash-Shanâ’i’ karya al-Kâsâny (II/797) dan Hasyiyah Ibn ‘Âbidîn (II/236). Ulama Mazhab Maliki, silahkan periksa: Ikmâl al-Mu’lim karya al-Qadhi ‘Iyadh (II/540) dan Tafsîr al-Qurthuby (XIII/242-243). Ulama Mazhab Syafi’i, silahkan telaah: Al-Umm karya Imam Syafi’i (I/463), al-Majmû’ karya an-Nawawy (V/289) dan Faidh al-Qadîr karya al-Munawy (V/274). Ulama Mazhab Hambali, silahkan lihat: al-Mughny karya Ibn Qudamah (III/441), Majmû’ Fatâwâ Ibn Taimiyyah (XXVII/488) dan Ighâtsah al-Lahfân karya Ibn al-Qayyim (I/350).

http://tunasilmu.com/proporsional-itu-indah/