Sabtu, 20 Juli 2013

Shalat Sunnah Rawatib


Shalat sunnah rawatib adalah shalat sunnah yang berada sebelum dan setelah shalat wajib. Ada tiga hadits yang menjelaskan jumlah shalat sunnah rawatib beserta letak-letaknya:
1. Dari Ummu Habibah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّي لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلَّا بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ
“Tidaklah seorang muslim mendirikan shalat sunnah ikhlas karena Allah sebanyak dua belas rakaat selain shalat fardhu, melainkan Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga.” (HR. Muslim no. 728)
Dan dalam riwayat At-Tirmizi dan An-Nasai, ditafsirkan ke-12 rakaat tersebut. Beliau bersabda:
مَنْ ثَابَرَ عَلَى ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنْ السُّنَّةِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ
“Barangsiapa menjaga dalam mengerjakan shalat sunnah dua belas rakaat, maka Allah akan membangunkan rumah untuknya di surga, yaitu empat rakaat sebelum zhuhur, dua rakaat setelah zhuhur, dua rakaat setelah maghrib, dua rakaat setelah isya` dan dua rakaat sebelum subuh.” (HR. At-Tirmizi no. 379 dan An-Nasai no. 1772 dari Aisyah)
2. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliallahu ‘anhu dia berkata:
حَفِظْتُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الصُّبْحِ
“Aku menghafal sesuatu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa shalat sunnat sepuluh raka’at yaitu; dua raka’at sebelum shalat zuhur, dua raka’at sesudahnya, dua raka’at sesudah shalat maghrib di rumah beliau, dua raka’at sesudah shalat isya’ di rumah beliau, dan dua raka’at sebelum shalat subuh.” (HR. Al-Bukhari no. 937, 1165, 1173, 1180 dan Muslim no. 729)
Dalam sebuah riwayat keduanya, “Dua rakaat setelah jumat.”
Dalam riwayat Muslim, “Adapun pada shalat maghrib, isya, dan jum’at, maka Nabi r mengerjakan shalat sunnahnya di rumah.”
3. Dari Ibnu Umar dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعًا
“Semoga Allah merahmati seseorang yang mengerjakan shalat (sunnah) empat raka’at sebelum Ashar.” (HR. Abu Daud no. 1271 dan At-Tirmizi no. 430)
Maka dari sini kita bisa mengetahui bahwa shalat sunnah rawatib adalah:
a. 2 rakaat sebelum subuh, dan sunnahnya dikerjakan di rumah.
b. 2 rakaat sebelum zuhur, dan bisa juga 4 rakaat.
c. 2 rakaat setelah zuhur
d. 4 rakaat sebelum ashar
e. 2 rakaat setelah jumat.
f. 2 rakaat setelah maghrib, dan sunnahnya dikerjakan di rumah.
g. 2 rakaat setelah isya, dan sunnahnya dikerjakan di rumah.
Lalu apa hukum shalat sunnah setelah subuh, sebelum jumat, setelah ashar, sebelum maghrib, dan sebelum isya?
Jawab:
Adapun dua rakaat sebelum maghrib dan sebelum isya, maka dia tetap disunnahkan dengan dalil umum:
Dari Abdullah bin Mughaffal Al Muzani dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ قَالَهَا ثَلَاثًا قَالَ فِي الثَّالِثَةِ لِمَنْ شَاءَ
“Di antara setiap dua adzan (azan dan iqamah) itu ada shalat (sunnah).” Beliau mengulanginya hingga tiga kali. Dan pada kali yang ketiga beliau bersabda, “Bagi siapa saja yang mau mengerjakannya.” (HR. Al-Bukhari no. 588 dan Muslim no. 1384)
Adapun setelah subuh dan ashar, maka tidak ada shalat sunnah rawatib saat itu. Bahkan terlarang untuk shalat sunnah mutlak pada waktu itu, karena kedua waktu itu termasuk dari lima waktu terlarang.
Dari Ibnu ‘Abbas dia berkata:
شَهِدَ عِنْدِي رِجَالٌ مَرْضِيُّونَ وَأَرْضَاهُمْ عِنْدِي عُمَرُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَشْرُقَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ
“Orang-orang yang diridlai mempersaksikan kepadaku dan di antara mereka yang paling aku ridhai adalah ‘Umar, (mereka semua mengatakan) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang shalat setelah Shubuh hingga matahari terbit, dan setelah ‘Ashar sampai matahari terbenam.” (HR. Al-Bukhari no. 547 dan Muslim no. 1367)
Adapun shalat sunnah sebelum jumat, maka pendapat yang rajih adalah tidak disunnahkan. 
Wallahu Ta’ala a’lam.

BEKAM SAAT PUASA


A
Apakah Bekam Itu?
Bekam (hijamah) berasal dari kata hajama yang berarti menyedot maksudnya menyedot sejumlah darah dari tempat tertentu dengan tujuan mengobati penyakit tertentu. Atau diartikan sebagai menghentikan penyakit agar tidak berkembang.

Keutamaan Bekam
Berdasarkan beberapa keterangan sunnah bahwa: Kesembuhan itu ada dalam tiga hal, yaitu dengan cara minum madu, berbekam dan kay (berobat dengan besi panas), namun aku melarang umatku melakukan kay. Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa sebaik - baik pengobatan yang kalian lakukan adalah berbekam. Bahkan Rasulullah SAW. diberi tahu malaikat jibril, bahwa bekam adalah pengobatan yang paling bermanfaat bagi manusia (lihat al-Bukhari dalam Shahîh al-Jâmi')

Mengapa harus berbekam?
Di dalam darah terdapat sel-sel darah merah yang telah tua, lemah, endapan-endapan darah, serta berbagai unsur-unsur negatif yang sampai kedalam darah melalui berbagai cara, termasuk pengaruh obat-obatan dan polusi kimiawi, asap kendaraan bermotor, makanan dengan dzat pewarna, pemanis buatan, MSG dan lain-lain. Semua itu merupakan sumber penyakit, maka dengan menyedotnya dari tubuh melalui -bekam- kita terbebas dari ampas-ampas negatif yang merusak tubuh, sehingga akan tercapai kesembuhan, kesehatan, vitalitas dan kekebalan tubuh yang semakin meningkat. Artinya imunitas seseorang bertambah.
Betapa utamanya berbekam, hal ini terbukti dengan hasil kajian laboratorium ternyata darah yang di keluarkan hanyalah sel darah merah yang telah berusia tua dan abnormal, sedangkan darah yang segar tidak bisa keluar. Berarti bekam hanya menyaring dan mengeluarkan darah kotor dan dapat menjaga sel-sel darah yang alami (natural) dan membersihkan sel-sel yang abnormal. Bahkan bisa menambahkan interferon pada tubuh, di mana ia merupakan zat protein yang di produksi sel-sel darah putih yang memiliki reaksi kuat terhadap virus-virus yang menyerang tubuh. Bertambahnya interferon, berarti bertambahnya kekebalan tubuh terhadap penyakit dan infeksi. Ketika seseorang di bekam, maka kemampuan darah putih untuk memproduksi interferon bertambah sepuluh kali lipat.

Bekam Preventif
Berbekam sebaiknya tidak hanya dilakukan ketika kita sedang sakit saja, melainkan dianjurkan untuk berbekam sebagai pencegah datangnya penyakit. Menurut Kawa Kurwawa (dokter dari jepang), bahwa darah kita selalu berputar (setelah melewati 120 hari), jika lebih maka darah akan menjadi tua atau lemah, lengket, beku, pekat, sehingga ia akan mengendap dan berkumpul di tempat-tempat tertentu (di punggung, pundak, dua urat leher dan bagian-bagian tubuh lainnya), endapan-endapan inilah merupakan faktor penyebab berbagai penyakit. 

Rahasia Berbekam Ketika Shaum
Rasulullah SAW. mengajarkan berbekam ketika shaum, karena berbekam ketika shaum khasiat menjadi dua kali lipat. Shaum mampu mengangkat racun, melebarkan pembuluh darah, menguatkan jantung, ginjal, paru-paru dan limfa. Mekanisme shaum yang luar biasa manfaatnya bagi tubuh akan menjadi berkesan jika di sinergikan dengan berbekam, di mana ketika sel-sel yang sudah tidak di perlukan tubuh dan melebarnya pembuluh darah terangkat karena shaum, menyebabkan kondisi sirkulasi darah menjadi baik. Ini menyebabkan proses bekam akan cepat direspon tubuh, sehingga peningkatan imunitas tubuh pun akan lebih cepat dicapai dalam kondisi shaum.

Banyak riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah SAW. dan para shahabatnya sudah biasa merutinkan berbekam ketika shaum, sebagaimana kesaksian Ummul Mu'minin 'Aisyah ra. dan Anas Maula Rasulullah ketika di tanya oleh Tsabit al-Banni.

Di antara shahabat yang sangat istiqamah dalam mengamalkan bekam ketika shaum adalah Ibnu Umar ra. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Ibnu Umar biasa berbekam dalam keadaan berpuasa sampai ia semakin tua dan fisiknya menjadi lemah. Ketika shaum, ia pun mengganti berbekam di siang hari menjadi malam harinya.
Dengan demikian, di samping berbekam ketika shaum banyak shahabat mencontohkannya, juga dapat memelihara vitalitas tubuh secara holistik. 

sumber : dewan dakwah

Kerja Dalam Islam


K
ewajiban Bekerja
Budaya hedonis yang terjadi pada kaum muslimin telah menemui titik nadir, di mana banyak kaum muslimin yang hidupnya berorientasi hanya kenikmatan dunia,  ia mengandalkan hidup bukan dari hasil  kerja keras. Tetapi bagaimana tanpa peluh, kerja keras, dan usaha  bisa dapat uang banyak.Ini yang keliru, padahal Islam jelas meminta ummatnya untuk bekerja keras. Apresiasi Islam terhadap kerja dan karya juga dapat ditangkap dari anjuran Rasulullah saw untuk beramal meskipun pada saat saat terakhir kehidupan seseorang  atau bahkan sesaat sebelum berakhirnya kehidupan di dunia yang fana ini, sebagaimana mana sabdanya tadi.


‘Anas bin Malik berkata, Rasulullah SAW. bersabda: "Jika tiba hari kiamat sedang pada tangan dari kalian ada bibit pohon kurma maka tanamlah".(Musnad Ahmad, Bab Musnad Anas bin Malik ra. no. 12435)
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam Q.S. At-Taubah/9: 105:
Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan".
Amal shalih adalah seluruh aktivitas hidup manusia yang dilandasi  niat karena Allah (ikhlash) dalam rangka mencapai keridhaan-Nya yang dilaksanakan sesuai dengan aturan-aturan Allah. Maka  Sikap penyerahan diri tanpa berusaha dan bekerja inilah sikap fatalisme, Mahmoud Hamdi Zaqzouq dalam bukunya Haqa’iq Islamiyyah fi Muwajahat at Tasykik  menyatakan; “ Sikap Fatalisme adalah bentuk sikap mental yang lahir dari pengabaian atas hukum sebab akibat (kausalitas) dan keengganan berusaha dan bekerja sambil berangan-angan Allah akan melakukan apa yang dikehendaki-Nya”.
Jelas Islam menolak sikap ini. Kehidupan manusia  yang  diyakini mampu, membuat  al-Quran banyak menjelaskan bahwa Islam adalah agama “kerja” yang mendorong ummatnya untuk bekerja. Bekerja adalah keniscayaan hidup bahkan termasuk ibadah. Tanpa bekerja, kehidupan akan berhenti. Ketika telah selesai suatu pekerjaan maka teruslah beralih ke pekerjaan berikutnya   (Q.S. Al-Insyirah/94: 7-8).
S. Waqar Ahmed H. (ahli sosiologi hukum Islam Mesir) berpendapat “istilah dalam al-Quran, mencari nafkah (kasab), balas jasa (jaza’) dan gaji atau imbalan (ajr), dapat disimpulkan bahwa kerja seseorang, baik kerja kasar maupun intelektual, adalah cara yang utama untuk memperoleh pendapatan – dan manusia tidak akan mendapatkan sesuatupun juga kecuali yang diusahakannya (Q.S. An-Najm/53: 39). Manusia disuruh ‘mencari karunia Tuhanmu’ bahkan sewaktu menunaikan ibadah haji dan pada hari Jumat tetapi dengan batasan larangan bekerja ketika shalat. Juga etika jerih payah individu ini melarang segala macam mengemis”. (Sistem Pembinaan Masyarakat Islam: 1983).
Begitupun sikap Rasulullah saw ketika ditawari oleh kaum Anshar untuk membagi kebun kurma mereka kepada para shahabat Muhajirin, beliau menjawab ‘tidak perlu’ cukuplah kalian memberikan bahan makanan pokok saja, dan kami bisa bergabung dengan kalian dalam memanen buahnya. (Shafiyyurrahman al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, hal. 250).  Beliau juga menumbuhkan hidup kerja keras/berusaha kepada para shahabat, sehingga para shahabat terbiasa bekerja, ini tampak ketika kaum muslimin diperintahkan hijrah ke Madinah:
Al-Bukhari meriwayatkan, ketika Muhajirin tiba di Madinah, maka Rasulullah saw mempersaudarakan antara Abdurrahman bin ‘Auf dengan Sa’d bin ar Rabi’.  Sa’d berkata kepada Abdurrahman,” Sesungguhnya aku adalah orang yang paling banyak hartanya di kalangan  Anshar. Ambillah separuh hartaku itu menjadi dua. Aku juga mempunyai dua istri. Maka lihatlah mana yang engkau pilih, agar aku bisa menceraikannya. Jika masa iddahnya sudah habis maka nikahilah ia”.
Abdurrahman berkata,” Semoga Allah memberkahimu dalam keluarga dan hartamu. Lebih baik tunjukkan saja mana pasar kalian?
Maka orang-orang menunjukkan pasar Bani Qainuqa’. Tidak lama Abdurrahman  berdagang. Suatu hari dia datang dan agak pucat.
Rasulullah bertanya; bagaimana keadaanmu?. “aku sudah menikah” jawabnya. Berapa banyak mas kawin yang engkau serahkan kepada istrimu? Dia menjawab: beberapa keping emas.( Shahih Bukhary, Bab Ikha’un Nabiy Baina alMuhajirin wal Anshar, 1/553).
Sikap Abdurrahman bin Auf yang tidak mau menerima begitu saja pemberian dari Sa’d bin ar-Rabi’ menunjukkan akan keharusan bagi seorang muslim ketika masih mempunyai kekuatan akal dan fisik, maka haruslah bekerja/berusaha  tidak layak  mengandalkan dari pemberian orang lain apalagi mengemis.
Keutamaan Bekerja Keras
Perintah Allah ‘Azza wa Jalla  agar hambanya bekerja, menjadikan hamba tersebut mulia baik di hadapan manusia bahkan dihadapan Allah. Keberuntungan akan diraih oleh hamba yang bekerja keras, begitu pula keberkahan dan kebahagiaan. Walaupun secara kasat mata menghasilkan nafkah sedikit tetapi yang dipandang Allah adalah sejauh mana hamba itu bekerja.
Firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam Q.S. Al-Jum’ah/62: 10:
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.
Kakeknya Rafi' bin Khadij dia berkata, "Dikatakan (oleh seseorang), "Wahai Rasulullah, mata pencaharian apakah yang paling baik?". Beliau menjawab: "Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang baik."( Musnad Ahmad, no.16628)

Nashihat terakhir bagi hamba yang rajin bekerja akan diberikannya jaminan dari Allah dengan kemudahan mendapatkan rezeki, tanpa ragu-ragu kita harus meyakini ini. Sebagaimana perkataan Umar ibn al Khattab; aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda: "Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebaik baiknya, niscaya kalian akan diberi rezeki, sebagaimana seekor burung diberi rezeki, tidakkah kalian melihat bahwa dia terbang di pagi hari dalam keadaan perut kosong dan kembali dalam keadaan kenyang." (Tirmizi, Bab fi Tawakkal ‘ala Allah, no.2266)

Adapun bentuk tawakkal, adalah berupa gerak dan usaha seorang hamba ketika bekerja dalam menggapai tujuan-tujuannya.
sumber : dewan dakwah

<script id="ilc_connect" src="http://www.linkcollider.com/js/lc_connect.min.js#ref=56024#widget=autosurf"></script>

Sabtu, 13 Juli 2013

HUKUM TADARUS AL QURAN BERSAMA-SAMA

HUKUM MEMBACA AL-QUR'AN BERSAMA-SAMA


Oleh
Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz

Membaca Al-Qur'an merupakan ibadah dan merupakan salah satu sarana yang paling utama untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Pada dasarnya membaca Al-Qur'an haruslah dengan tatacara sebagaimana Rasullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mencontohkannya bersama para shahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak ada satupun riwayat dari beliau dan para shabatnya bahwa mereka membacanya dengan cara bersama-sama dengan satu suara. Akan tetapi mereka membacanya sendiri-sendiri atau salah seorang membaca dan orang lain yang hadir mendengarkannya.

Telah diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunahku dan sunnah para Al-Khulafa'ur Rasyidun setelahku" [1]

Sabda beliau lainnya.

"Artinya : Barangsiapa mengada-adakan dalam perkara kami ini (perkara agama) yang tidak berasal darinya, maka dia itu tertolak" [2]

Dalam riwayat lain disebutkan.

"Artinya : Barangsiapa melaksanakan suatu amalan yang tidak ada perintah kami maka amalan tersebut tertolak" [3]

Diriwayatkan pula dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan kepada Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu untuk membacakan kepadanya Al-Qur'an. Ia berkata kepada beliau. "Wahai Rasulullah, apakah aku akan membacakan Al-Qur'an di hadapanmu sedangkan Al-Qur'an ini diturunkan kepadamu?" Beliau menjawab : "Saya senang mendengarkannya dari orang lain" [4]

BERKUMPUL DI MASJID ATAU DI RUMAH UNTUK MEMBACA AL-QUR'AN BERSAMA-SAMA.

Jika yang dimaksud adalah bahwasanya mereka membacanya dengan satu suara dengan 'waqaf' dan berhenti yang sama, maka ini tidak disyariatkan. Paling tidak hukumnya makruh, karena tidak ada riwayat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maupun para shahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun apabila bertujuan untuk kegiatan belajar dan mengajar, maka saya berharap hal tersebut tidak apa-apa.

Adapun apabila yang dimaksudkan adalah mereka berkumpul untuk membaca Al-Qur'an dengan tujuan untuk menghafalnya, atau mempelajarinya, dan salah seorang membaca dan yang lainnya mendengarkannya, atau mereka masing-masing membaca sendiri-sendiri dengan tidak menyamai suara orang lain, maka ini disyari'atkan, berdasarkan riwayat dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda.

"Artinya : Apabila suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid) sambil membaca Al-Qur'an dan saling bertadarus bersama-sama, niscaya akan turun ketenangan atas mereka, rahmat Allah akan meliputi mereka, para malaikat akan melindungi mereka dan Allah menyebut mereka kepada makhluk-makhluk yang ada di sisi-Nya" [Hadits Riwayat Muslim] [5]

MEMBAGI BACAAN AL-QUR'AN UNTUK ORANG-ORANG YANG HADIR

Membagi juz-juz Al-Qur'an untuk orang-orang yang hadir dalam perkumpulan, agar masing-masing membacanya sendiri-sendiri satu hizb atau beberapa hizb dari Al-Qur'an, tidaklah dianggap secara otomatis sebagai mengkhatamkan Al-Qur'an bagi masing-masing yang membacanya. Adapun tujuan mereka dalam membaca Al-Qur'an untuk mendapatkan berkahnya saja, tidaklah cukup. Sebab Al-Qur'an itu dibaca hendaknya dengan tujuan ibadah mendekatkan diri kepada Allah dan untuk menghafalnya, memikirkan dan mempelajari hukum-hukumnya, mengambil pelajaran darinya, untuk mendapatkan pahala dari membacanya, melatih lisan dalam membacanya dan berbagai macam faedah-faedah lainnya [Lihat Fatwa Lajnah Da'imah no. 3861]


[Disalin dari kitab Bida’u An-Naasi Fii Al-Qur’an, Edisi Indonesia Penyimpangan Terhadap Al-Qur’an Penulis Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Penerjemah Ahmad Amin Sjihab, Penerbit Darul Haq]
__________
Foote Notes
[1]. Diriwayatkan oleh Abu Daud no 407 dalam kitab Sunnah, bab Fii Luzuumis Sunnah ; Ibnu Majah no 42 dalam Al-Muqaddimah, bab Ittiba'ul Khulafa'ir Rasyidinal Mahdiyyin, dari hadits Al-Irbadh Radhiyallahu anhu. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2676 dalam Al-Ilmu bab 'Maa Jaa'al Fil Akhdzi bis Sunnati Wajtinabil Bida', ia mengatakan : 'Hadits ini hasan shahih. Al-Arna'uth berkata : 'Sanadnya hasan. Lihat Syarhus Sunnah, 1/205 hadits no.102.
[2]. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no, 2697 dalam Al-Shulh bab 'Idza Isththalahu 'ala Shulhin Juur Fash Shulh Mardud' dan Muslim no 1718 dalam kitab Al-Uqdhiyah bab 'Naqdhul Ahkamil Bathilan wa Raddu Muhdatsatil Umur' dari hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha
[3]. Diriwayatkan oleh Muslim no. 1718 jilid 18, dalam kitab Al-Uqdhiyah bab Maqdhul Ahkamil Bathilan wa Raddu Muhdatsatil Umu' dari hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha
[4]. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5050, dalam Fadhailul Qur'an, bab 'Barangsiapa mendengarkan Al-Qur'an dari orang selainnya' dari hadits Abdullah bin Mas'ud, ia berkata, 'Rasulullah berkata kepada saya, bacakan Al-Qur'an untukku. Saya berkata, Wahai Rasulullah, apakah saya akan membacakannya sedangkan Al-Qur'an ini diturunkan kepadamu.? Beliau menjawab, 'Ya' Maka sayapun membacakan surat An-Nisa hingga pada ayat : "Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)". [An-Nisa : 41]. Beliau berkata, "Cukup". Saya menoleh kepada beliau, ternyata kedua matanya sedang berlinang air mata." [Lihat Fatwa Lajnah Da'imah no. 4394]
[5]. Bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Muslim no. 2699 dalam kitab Dzikir dan Do'a, bab 'Fadhlul Ijtima 'Ala Tilawatil Qur'an wa 'Aladz Dzikir dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.[Lihat juga Fatawa Lajnah Da'imah no. 3302]


sumber : http://almanhaj.or.id/content/1958/slash/0/hukum-membaca-al-quran-bersama-sama-membagi-bacaan-al-quran-untuk-orang-orang-yang-hadir/