Jumat, 12 Oktober 2012

Qurban (1) Hukum Qurban Dalam Islam


Qurban hukumnya sunnah, tidak wajib. Imam Malik, Asy Syafi’i, Abu Yusuf,
Ishak bin Rahawaih, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm dan lainnya berkata,”Qurban itu
hukumnya sunnah bagi orang yang mampu (kaya), bukan wajib, baik orang itu
berada di kampung halamannya (muqim), dalam perjalanan (musafir), maupun
dalam mengerjakan haji.” (Matdawam, 1984)
Sebagian mujtahidin -seperti Abu Hanifah, Al Laits, Al Auza’i, dan sebagian
pengikut Imam Malik- mengatakan qurban hukumnya wajib. Tapi pendapat ini
dhaif (lemah) (Matdawam, 1984).
Ukuran “mampu” berqurban, hakikatnya sama dengan ukuran kemampuan shadaqah,
yaitu mempunyai kelebihan harta (uang) setelah terpenuhinya kebutuhan pokok
(al hajat al asasiyah) -yaitu sandang, pangan, dan papan– dan kebutuhan
penyempurna (al hajat al kamaliyah) yang lazim bagi seseorang. Jika
seseorang masih membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
tersebut, maka dia terbebas dari menjalankan sunnah qurban (Al Jabari, 1994)
.
Dasar kesunnahan qurban antara lain, firman Allah SWT :
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikan (kerjakan) shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah.” (TQS Al
Kautsar : 2).
“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu
bagi kamu adalah sunnah.”(HR.At-Tirmidzi)
“Telah diwajibkan atasku (Nabi SAW) qurban dan ia tidak wajib atas kalian.”
(HR. Ad Daruquthni)
Dua hadits di atas merupakan qarinah (indikasi/petunjuk) bahwa qurban adalah
sunnah. Firman Allah SWT yang berbunyi “wanhar” (dan berqurbanlah kamu)
dalam surat Al Kautas ayat 2 adalah tuntutan untuk melakukan qurban
(thalabul fi’li). Sedang hadits At Tirmidzi, “umirtu bi an nahri wa huwa
sunnatun lakum” (aku diperintahkan untuk menyembelih qurban, sedang qurban
itu bagi kamu adalah sunnah), juga hadits Ad Daruquthni “kutiba ‘alayya an
nahru wa laysa biwaajibin ‘alaykum” (telah diwajibkan atasku qurban dan ia
tidak wajib atas kalian); merupakan qarinah bahwa thalabul fi’li yang ada
tidak bersifat jazim (keharusan), tetapi bersifat ghairu jazim (bukan
keharusan). Jadi, qurban itu sunnah, tidak wajib. Namun benar, qurban adalah
wajib atas Nabi SAW, dan itu adalah salah satu khususiyat beliau (lihat
Rifa’i et.al., Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, hal. 422).
Orang yang mampu berqurban tapi tidak berqurban, hukumnya makruh. Sabda Nabi
SAW:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Barangsiapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka
janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami.” (HR. Ahmad, Ibnu
Majah, dan Al Hakim, dari Abu Hurairah RA. Menurut Imam Al Hakim, hadits ini
shahih. Lihat Subulus Salam IV/91)
Perkataan Nabi “fa laa yaqrabanna musholaanaa” (janganlah sekali-kali ia
menghampiri tempat shalat kami) adalah suatu celaan (dzamm), yaitu tidak
layaknya seseorang -yang tak berqurban padahal mampu– untuk mendekati tempat
sholat Idul Adh-ha. Namun ini bukan celaan yang sangat/berat (dzamm syanii’)
seperti halnya predikat fahisyah (keji), atau min ‘amalisy syaithan
(termasuk perbuatan syetan), atau miitatan jaahiliyatan (mati jahiliyah) dan
sebagainya. Lagi pula meninggalkan sholat Idul Adh-ha tidaklah berdosa,
sebab hukumnya sunnah, tidak wajib. Maka, celaan tersebut mengandung hukum
makruh, bukan haram (lihat ‘Atha` ibn Khalil, Taysir Al Wushul Ila Al Ushul,
hal. 24; Al Jabari, 1994).
Namun hukum qurban dapat menjadi wajib, jika menjadi nadzar seseorang, sebab
memenuhi nadzar adalah wajib sesuai hadits Nabi SAW :
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ
فَلَا يَعْصِهِ
“Barangsiapa yang bernadzar untuk ketaatan kepada Allah, maka hendaklah ia
melaksanakannya. Barangsiapa yang bernadzar untuk kemaksiatan kepada Allah,
maka janganlah ia tidak melaksanakannya.” (HR al-Bukhari, Abu Dawud,
al-Tirmidzi).
Qurban juga menjadi wajib, jika seseorang (ketika membeli kambing, misalnya)
berkata,”Ini milik Allah,” atau “Ini binatang qurban.” (Sayyid Sabiq, 1987;
Al Jabari, 1994).
Wallahua'lam

Dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar