Sering orang yang
tidak paham ajaran Islam menganggap Islam merendahkan kaum wanita. Padahal itu
tidak benar. Islam justru memuliakan kaum wanita.
Saat seorang
lelaki bertanya kepada Nabi Muhammad, kepada siapa dia harus berbakti, Nabi
Muhammad menjawab kepada ibunya. Pertanyaan yang sama diajukan 3x, jawaban tetap
sama, yaitu: ibu. Baru pada pertanyaan ke 4 Nabi menjawab: kepada
ayah.
Itu menandakan
posisi seorang ibu (wanita) di atas seorang ayah (lelaki) di dalam
Islam:
Hadis
riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Seseorang datang menghadap Rasulullah saw. dan bertanya: Siapakah manusia yang paling berhak untuk aku pergauli dengan baik? Rasulullah saw. menjawab:
Ibumu. Dia bertanya lagi: Kemudian siapa? Rasulullah saw. menjawab: Kemudian ibumu. Dia bertanya lagi: Kemudian siapa? Rasulullah saw. menjawab: Kemudian
ibumu. Dia bertanya lagi: Kemudian siapa? Rasulullah saw. menjawab lagi: Kemudian ayahmu. (Shahih Muslim No.4621)
Seseorang datang menghadap Rasulullah saw. dan bertanya: Siapakah manusia yang paling berhak untuk aku pergauli dengan baik? Rasulullah saw. menjawab:
Ibumu. Dia bertanya lagi: Kemudian siapa? Rasulullah saw. menjawab: Kemudian ibumu. Dia bertanya lagi: Kemudian siapa? Rasulullah saw. menjawab: Kemudian
ibumu. Dia bertanya lagi: Kemudian siapa? Rasulullah saw. menjawab lagi: Kemudian ayahmu. (Shahih Muslim No.4621)
Ada lagi hadits
yang menyebut Surga di bawah telapak kaki ibu. Meski ada yang bilang itu hadits
dhoif, namun pada dasarnya Islam sangat memuliakan ibu. Sehingga durhaka
kepadanya adalah satu dosa besar.
Kenapa kita harus
memuliakan ibu? Jawabnya ada di Al Qur’an:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia
(agar berbuat baik) kepada ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Ku lah
kamu akan kembali.” (QS. Luqman: 14)
Begitu pula dalam firman-Nya, “Kami
perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada ibu bapaknya. Ibunya telah
mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).
Mengandung dan menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (QS. Al-Ahqaf:
15)
Dalam berbagai
ayat Al Qur’an, kata pria dan wanita selalu disebut berdampingan. Misalnya
“Muslimiin wal Muslimaat” (Muslim lelaki dan Muslim perempuan), “Mu’miniin wal
mu’minaat” (Mukmin pria dan Mukmin perempuan), dsb di dalam surat Al Ahzab
35.
Ada sebagian orang
yang beranggapan bahwa Islam tak adil karena dalam hal warisan, wanita hanya
dapat 1 bagian sementara pria dapat 2 bagian. Bagian wanita lebih sedikit. Itu
pendapat yang keliru.
Dalam Islam,
wanita berhak menerima mahar dan juga menerima nafkah dari suaminya. Sedangkan
pria, dia berkewajiban memberi mahar dan juga nafkah bagi istrinya. Jadi
seandainya pria dapat 2, pria tersebut harus memberi 1-2 bagian yang dia dapat
sementara wanita tidak ada kewajiban memberikan hartanya kepada suaminya. Jadi
tak ada yang dirugikan di situ. Secara matematis, seorang wanita akhirnya dapat
2 bagian sementara lelaki bisa jadi hanya 1 bahkan tidak ada.
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada
wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan..” [An Nisaa'
4]
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka…” [An Nisaa' 34]
Tentu saja itu
implikasinya adalah seorang suami adalah pemimpin rumah tangganya. Bukan
sebaliknya. Janggal rasanya jika istri yang bekerja di kantor mencari nafkah,
sementara suaminya di rumah mengurus rumah tangga.
Jangan anggap
bahwa dengan diangkatnya pria sebagai pemimpin, maka wanita direndahkan. Bukan
itu. Bagaimana pun juga dalam 1 kumpulan itu harus ada 1 pemimpin agar teratur.
Entah itu dalam negara, propinsi, kota, kelas, dan juga dalam rumah tangga.
Allah sudah menetapkan itu agar tidak ada “perebutan kekuasaan”…
Meski ibu kita
Kartini menyerukan emansipasi atau persamaan hak, bukan berarti wanita harus
sama persis dengan pria. Ibarat sepatu, keduanya kiri semua. Tidak ada yang
kanan. Akhirnya malah tidak lengkap dan tidak bisa dipakai.
Tetap ada
perbedaan antara pria dan wanita, paling tidak dari segi fisiknya. Tidak mungkin
saat di rumah ada maling, suami menyuruh istrinya untuk menghadapi maling
tersebut. Keduanya harus saling melengkapi.
Seorang istri,
hendaknya tinggal di rumah mendidik anak-anaknya dan mengatur rumah
tangganya:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu
dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah
yang dahulu…”
Seandainya
berbisnis, hendaknya seorang wanita berbisnis dari rumahnya. Banyak para istri
yang berbisnis dari rumahnya seperti usaha catering dsb dan justru
penghasilannya justru lebih besar dari suaminya dan bisa membantu anak-anaknya
bersekolah dan kuliah. Itu lebih baik ketimbang bekerja di kantor atau sebagai
buruh dengan gaji yang kecil. Sudah waktu terbuang, keluarga terbengkalai,
hasilnya juga tidak seberapa.
Siti Khadijah
adalah seorang pebisnis yang tangguh. Beliau melakukan ekspor/impor hingga ke
Suriah. Namun yang keluar memimpin dagang adalah Nabi Muhammad yang kemudian
jadi suaminya.
Seorang wanita
mengandung anaknya. Kemudian menyusui anaknya. Kaum pria tidak mungkin melakukan
hal itu. Itulah sunnatullah agar wanita selalu dekat dan mendidik anak-anaknya.
Tamu bulanan bagi wanita bisa jadi agar wanita senantiasa tinggal di rumah jika
tak ada keperluan penting.
Tentu saja saat
semua kewajiban sudah dilaksanakan para wanita, tidak ada halangan bagi mereka
untuk melakukan aktivitas lainnya.
Di zaman Nabi
bahkan ada beberapa wanita yang ikut berperang meski umumnya adalam membantu
memberi makan dan minum serta mengobati prajurit yang terluka. Oleh karena itu
saat Barat mengelu-elukan Florence Nightingale (lahir di Florence, Italia, 12
Mei 1820), yang jadi perawat mengobati tentara yang terluka, ternyata Islam
telah lebih dulu melakukannya. Islam melakukannya 1100 tahun lebih
awal!
Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata:
Rasulullah saw. pernah berperang bersama Ummu Sulaim serta beberapa orang kaum wanita Ansar. Ketika beliau sedang bertempur, mereka membantu memberi minum serta mengobati para prajurit yang terluka. (Shahih Muslim No.3375)
Rasulullah saw. pernah berperang bersama Ummu Sulaim serta beberapa orang kaum wanita Ansar. Ketika beliau sedang bertempur, mereka membantu memberi minum serta mengobati para prajurit yang terluka. (Shahih Muslim No.3375)
Bahkan ada pula
wanita yang terjun langsung berperang melawan musuh seperti Ummu ‘Umarah di
dalam perang Uhud. Ummu Hakim bahkan membunuh tujuh orang Romawi dengan tiang
kemah di jembatan yang hingga sekarang dinamakan jembatan Ummu Hakim di dalam
perang Ajnadin.
Tentu saja Nabi
sangat selektif dalam mengizinkan wanita ikut bertempur. Hanya wanita yang
sekuat pria saja dan punya keberanian tinggi yang beliau izinkan perang sehingga
tidak jadi korban. Ini karena memang dari segi fisik, wanita lebih lemah
daripada pria.
Seorang mantan
tentara wanita AS, Catherine L Aspy menulis di majalah Reader’s Digest bahwa
wanita sebaiknya tidak diizinkan bertempur. Ini karena wanita terkuat di
satuannya itu sama dengan pria terlemah. Standar kekuatan dan kecepatan untuk
wanita pun diturunkan sehingga tidak sama dengan pria. Di Bosnia banyak tentara
wanita yang tidak bisa bergerak cepat dibanding pria karena beban perlengkapan
yang berat. Ada pula yang kontra karena terjadinya banyak pelecehan seksual
terhadap tentara wanita oleh tentara pria dan juga atasannya.
Nah Nabi Muhammad
sangat selektif dalam hal ini. Hanya wanita yang betul-betul kuat saja yang
boleh bertempur.
Namun di dalam
Islam diusahakan wanita tidak bebas bercampur dengan pria yang bukan muhrimnya
sehingga terhindar dari zina. Misalnya dokter perempuan, khusus menangani pasien
perempuan. Bukan sebaliknya. Kurang pantas jika ada direktur pria mempekerjakan
sekretaris wanita yang terus menemaninya hingga ke luar kota. Model seperti itu
jadi bahan bagi cerita/film perselingkuhan tentang direktur dengan sekretarisnya
yang cantik.
Jika wanita
mengambil-alih pekerjaan pria misalnya jadi buruh-buruh di pabrik, mereka selain
gajinya kecil pun akhirnya tidak bisa merawat dan mendidik anak-anak mereka.
Anak-anaknya harus dititipkan. Sementara kaum pria akhirnya banyak yang
menganggur karena pekerjaan mereka direbut oleh kaum wanita.
Jadi hendaknya
dihindari hal itu. Banyak bisnis yang bisa dilakukan oleh kaum ibu di rumah
sehingga bukannya merebut pekerjaan pria, mereka justru bisa memberi lapangan
kerja bagi yang lainnya. Banyak wanita yang sukses di bisnis katering dan
mempekerjakan banyak tetangganya yang juga wanita.
Saat kita membaca
biografi ibu Kartini mungkin kita beranggapan seolah-olah Islam melarang wanita
menuntut ilmu setinggi mungkin. Toh akhirnya ke dapur juga tempatnya. Itu adalah
pandangan adat. Bukan Islam.
Dalam Islam, baik
lelaki mau pun perempuan mempunyai kewajiban menuntut ilmu.
“Menuntut ilmu adalah wajib atas
setiap muslim (Muslim lelaki dan Muslim perempuan).” (HR. Ibnu
Majah)
Dalam Islam,
banyak pula wanita yang menjadi alim ulama (Ilmuwan) seperti Siti ‘Aisyah yang
meriwayatkan ribuan hadits dan juga Hafshah, Hindun, Maimunah, dsb yang jadi
referensi bagi para penyusun kitab Hadits seperti Imam Bukhari dan
Muslim.
Namun Raden Ajeng
Kartini yang lahir pada 21 April tahun 1879 di kota Jepara, Jawa Tengah,
terpengaruh juga dengan beberapa ayat Al Qur’an. Misalnya kumpulan tulisannya
kepada Nyonya JP Abendanon yang diberi judul “Door Duisternis Tot Licht” (Habis
Gelap Terbitlah Terang), menurut Ahmad Mansur Suryanegara, terinspirasi oleh
Surat Al Baqarah ayat 257 yang berbunyi “Minazh Zhulumaati Ilan Nuur” (Dari
Kegelapan kepada Cahaya).
dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar